Ilustrasi bulan (www.unsplash.com)

Kedungademmu.id
Setiap menjelang bulan suci Ramadan, umat Islam di Indonesia selalu dihadapkan pada satu pertanyaan: kapan kita mulai berpuasa?

Pertanyaan ini bukan sekadar formalitas, tetapi mencerminkan perbedaan cara penetapan awal bulan Hijriah yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Di Indonesia, pemerintah, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU) sering kali memiliki metode berbeda dalam menentukan 1 Ramadan.


Muhammadiyah, yang menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal, telah lebih dulu menetapkan bahwa awal puasa jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025.


Sementara itu, pemerintah dan NU masih menunggu sidang isbat pada 28 Februari 2025, yang menggunakan gabungan metode rukyatul hilal (pengamatan bulan secara langsung) dan hisab.


Perbedaan yang Terulang, Tapi Haruskah Dipermasalahkan?


Perbedaan awal Ramadan bukanlah hal baru, dan kemungkinan besar akan terus terjadi di masa mendatang. Namun, pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah perbedaan ini perlu menjadi bahan perdebatan?


Beberapa orang menganggap bahwa perbedaan ini seharusnya diakhiri dengan satu keputusan bersama, agar umat Islam di Indonesia bisa lebih kompak dalam menjalankan ibadah.


Namun, ada juga yang berpandangan bahwa keberagaman metode ini justru menunjukkan luasnya pemahaman Islam dan kekayaan ilmu falak yang diwariskan para ulama.


Terlepas dari kapan kita mulai puasa, Ramadan tetaplah bulan penuh berkah yang esensinya adalah memperkuat ketakwaan, memperbanyak ibadah, serta meningkatkan kepedulian terhadap sesama.


Alih-alih memperdebatkan siapa yang benar, bukankah lebih baik kita menyambut Ramadhan dengan hati yang lebih terbuka dan penuh keikhlasan?


Yang lebih penting bukanlah kapan kita mulai, tetapi bagaimana kita mengisi bulan suci ini dengan amal ibadah dan kebaikan.


Bagaimana menurut Anda, apakah perlu ada keseragaman dalam penetapan awal Ramadhan, ataukah perbedaan ini adalah bagian dari dinamika Islam yang harus kita terima dengan lapang dada?