Ilustrasi Kecerdasan Artifisial (www.freepik.com)

Oleh: Ahmad Nurefendi Fradana; Dosen Literasi Umsida

Kedungademmu.id
Sejarah manusia adalah sejarah literasi. Bayangkan, Johannes Gutenberg pada abad ke-15: mesin cetaknya tak hanya mencetak buku, tapi juga mengguncang kekuasaan gereja, melahirkan Reformasi Protestan, dan menyalakan obor Renaisans. Kini, di abad ke-21, kita berdiri di depan "mesin cetak" baru bernama artificial intelligence (AI)—belakangan di Indonesia muncul istilah "akal imitasi" sebagai padanan, setelah sebelumnya "kecerdasan artifisial"—. Bedanya, mesin ini tak hanya mencetak teks, tapi juga menciptakan teks, seni, keputusan, bahkan logika baru. Jika literasi melek huruf dulu menjadi senjata melawan kebodohan, literasi seperti apa yang kita butuhkan untuk bertahan di zaman mesin yang semakin pintar ini?

Literasi di era AI bukan lagi sekadar kemampuan membaca instruksi di layar atau mengetik prompt di ChatGPT. Ini soal memahami bagaimana mesin bekerja, mengapa ia merekomendasikan konten tertentu, dan apa dampaknya jika kita menyerahkan nyaris seluruh keputusan hidup pada algoritma. Jika dulu buta huruf berarti tak bisa baca surat cinta, sekarang buta literasi AI berarti kita bisa terjebak dalam echo chamber media sosial, tertipu deepfake, atau bahkan kehilangan pekerjaan tanpa tahu penyebabnya. Ambil contoh algoritma rekrutmen berbasis AI yang diklaim netral. Pada 2018, Amazon terpaksa membatalkan sistem rekrutmen AI-nya karena belajar dari data historis yang bias gender. Algoritma itu mengajari kita pelajaran penting: AI tidaklah objektif. Ia cermin dari data yang kita beri. Literasi di sini berarti kemampuan untuk bertanya, "Data apa yang melatih mesin ini? Siapa yang diuntungkan?" Tanpa itu, kita hanya jadi penonton yang dikibuli oleh ilusi netralitas teknologi.

Di tengah kompleksitas ini, muncul lelucon getir di kalangan penulis, "ChatGPT bisa menggantikan penulis content farm, tapi tidak akan pernah bisa menulis satire sepedas esai Orwell." Benarkah? Faktanya, AI sudah bisa menulis puisi, menirukan gaya Hemingway, bahkan merangkum teori fisika kuantum. Tapi di balik itu, ada paradoks: semakin AI pintar, semakin kita harus lihai memilah mana yang esensial manusiawi dan mana yang sekadar machine-generated noise. Humor dan satire—dua senjata manusia untuk mengkritik kekuasaan—justru menjadi relevan di sini. AI yang dilatih untuk menulis satire politik. Apakah ia akan mengulang bias dalam data pelatihannya, atau justru menghasilkan kritik yang lebih tajam? Pada 2023, sebuah startup di San Francisco meluncurkan bot parodi yang mampu menulis sketsa komedi tentang kebijakan ekonomi. Lucu? Tentu. Tapi yang lebih penting: siapa yang bertanggung jawab jika lelucon itu merugikan kelompok tertentu? Literasi AI mengajak kita untuk tidak hanya tertawa, tapi juga membedakan antara joke dan joke yang dimanipulasi.

Krisis literasi ini semakin nyata ketika teknologi seperti deepfake merajalela. Pernah terjadi, seorang CEO perusahaan teknologi tiba-tiba muncul dalam video yang menyatakan kebangkrutan perusahaannya. Pasar saham langsung kolaps, hingga akhirnya terbukti video itu rekayasa. Menurut laporan Partnership on AI, 58% orang dewasa kesulitan membedakan konten asli dan deepfake. Di sini, literasi digital klasik—seperti memverifikasi sumber—tak lagi cukup. Yang diperlukan adalah literasi teknis: memahami bagaimana deepfake dibuat, alat deteksinya, serta kesadaran bahwa setiap konten bisa direkayasa. Tapi jangan salah: literasi AI bukan berarti semua orang harus jadi programmer. Ini lebih tentang membangun skeptisisme sehat. Seperti kata Neil Postman, "Teknologi adalah teman yang rewel, bukan musuh." Kita perlu bersahabat dengan AI tanpa naif.

Persoalan mendasar adalah sistem pendidikan kita yang masih seperti pabrik era industri: murid dijejali rumus matematika, tapi tak diajari cara menganalisis bias dalam dataset. Sekolah mengajarkan koding, tapi lupa menyelipkan etika digital. Padahal, anak SMA hari ini akan hidup di dunia di mana 65% pekerjaan masa depan belum ada. Yang mereka butuhkan bukan sekadar keterampilan teknis, tapi kemampuan belajar sepanjang hayat—termasuk memahami dinamika AI. Contoh baik datang dari Finlandia. Sejak 2020, negara itu meluncurkan kursus Elements of AI gratis untuk publik, mengajarkan dasar-dasar AI pada nenek-kakek hingga anak SMP. Hasilnya? Masyarakat yang tak hanya bisa menggunakan teknologi, tapi juga mempertanyakannya.

Di akhir abad 18, Rousseau berteriak, "Manusia dilahirkan merdeka, tapi di mana-mana ia terbelenggu." Di abad 21, belenggu itu bernama algoritma yang tak kita pahami. Literasi AI adalah senjata untuk membebaskan diri. Ia bukan hanya urusan individu, tapi tanggung jawab kolektif: pemerintah harus membuka akses pendidikan, perusahaan teknologi wajib transparan dengan algoritma mereka, dan kita semua harus berani bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi di balik layar ini?" Jika Gutenberg memberi kita buku, AI memberi kita cermin—yang memantulkan wajah manusia sekaligus bayangan mesin. Literasilah yang menentukan: apakah kita akan dikendalikan oleh bayangan itu, atau justru menciptakan refleksi yang lebih adil dan manusiawi.