Penasihat PWM Jawa Timur, Achmad Jainuri dalam Kajian Ramadan 1446 H PWM Jawa Timur (Kedungademmu.id)

Kedungademmu.id
Sejarah peradaban Islam tak hanya dihiasi dengan kejayaan, tetapi juga ujian besar yang menguji ketahanan umat.

Sejarah peradaban Islam bukanlah kisah yang berdiri sendiri, melainkan narasi panjang yang terus mewarnai perjalanan umat manusia.

Dalam salahs atu sesi Kajian Ramadan 1446 H yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM)) Jawa Timur, Achmad Jainuri, Penasihat PWM Jawa Timur, mengajak peserta menyusuri jejak peradaban Islam, dari kejayaan Negeri Saba hingga kemunculan Madinah sebagai model masyarakat ideal di era Rasulullah saw.

Prof. Jainuri membuka paparannya dengan menyoroti Negeri Saba sebagai contoh awal baldah thayyibah—sebuah negeri yang diberkahi dengan kesuburan dan kesejahteraan.

Namun, ia mengingatkan bahwa kemakmuran semata tidak cukup jika tidak diiringi dengan kesadaran moral dan kepemimpinan yang adil.

Runtuhnya Saba menjadi bukti bahwa peradaban yang dibangun di atas fondasi materialisme semata akan rapuh ketika menghadapi tantangan sejarah.

Dari Saba, ia melangkah ke Madinah, kota yang menjadi model peradaban Islam yang sesungguhnya.

Di bawah kepemimpinan Rasulullah, Madinah bukan hanya menjadi pusat politik dan ekonomi, tetapi juga episentrum nilai-nilai keadilan, persaudaraan, dan kesetaraan. Piagam Madinah menjadi bukti bagaimana Islam mampu membangun tatanan sosial yang inklusif, di mana keberagaman bukan sumber konflik, melainkan fondasi bagi harmoni sosial.

Prof. Jainuri menegaskan bahwa peradaban Islam tidak sekadar hadir sebagai entitas historis, tetapi juga sebagai kekuatan yang terus membentuk wajah dunia.

Dari ilmu pengetahuan hingga tata kelola pemerintahan, Islam telah memberikan kontribusi besar dalam membangun peradaban manusia.

“Islam bukan hanya agama yang mengatur hubungan individu dengan Tuhan, tetapi juga sistem yang mengatur bagaimana manusia berinteraksi, membangun masyarakat, dan menciptakan kesejahteraan bersama,” tegasnya.

Intelektual Muslim yang juga mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo ini kemudian membahas dinamika suksesi kepemimpinan Islam setelah Rasulullah, khususnya transisi dari Umar bin Khattab ke Utsman bin Affan.

Ia juga mengupas bagaimana konflik internal akhirnya berujung pada terbunuhnya Khalifah Utsman—sebuah tragedi yang mengubah arah sejarah Islam.

Prof. Jainuri menjelaskan bahwa Umar bin Khattab, sebelum wafat akibat ditikam oleh Abu Lu’lu’ah, membentuk dewan syura untuk menentukan penggantinya.

Dewan ini terdiri dari enam sahabat utama, dan setelah diskusi panjang, Utsman bin Affan terpilih sebagai khalifah ketiga. Keputusan ini didasarkan pada kepribadian Utsman yang lembut, kesalehannya, serta pengaruhnya di kalangan Quraisy.

Namun, kepemimpinan Utsman menghadapi tantangan besar. Gaya kepemimpinannya yang lebih lunak dibanding Umar membuatnya mudah mendapat tekanan dari kelompok-kelompok tertentu, terutama dari mereka yang kecewa dengan kebijakan administratifnya.

Salah satu isu yang paling kontroversial adalah kedekatannya dengan kerabat dari Bani Umayyah, yang diberi posisi strategis dalam pemerintahan.

Ketidakpuasan semakin meluas, terutama di Mesir, Kufah, dan Basrah. Gerakan oposisi pun menguat, hingga akhirnya pada tahun 656 M, sekelompok pemberontak mengepung rumahnya di Madinah.

Utsman tetap bersikukuh untuk tidak menggunakan kekerasan demi mempertahankan kekuasaannya. Ia menolak menyerang balik meski memiliki pasukan yang bisa membela dirinya.

Tragedi pun terjadi. Dalam keadaan Madinah yang bergejolak, pemberontak menerobos masuk dan membunuh Utsman di kediamannya saat ia tengah membaca Al-Qur’an.

Peristiwa ini mengguncang dunia Islam dan menjadi titik awal perpecahan besar yang memunculkan konflik berkepanjangan, termasuk Perang Jamal dan Perang Shiffin.

Prof. Jainuri menegaskan bahwa peristiwa ini memberikan pelajaran penting bagi umat Islam tentang bagaimana kepemimpinan harus dijalankan dengan keseimbangan antara ketegasan dan kebijaksanaan.

“Utsman adalah sosok yang luar biasa dalam keimanan dan kedermawanan, tetapi situasi politik yang kompleks menunjukkan bahwa kepemimpinan membutuhkan ketangguhan ekstra dalam mengelola dinamika kekuasaan,” ujarnya.

Ia juga mengajak peserta untuk merenungkan implikasi sejarah ini dalam konteks Indonesia. Dengan segala keberagaman dan dinamika sosial-politik yang ada, kepemimpinan yang adil, kuat, dan visioner menjadi kunci bagi kelangsungan baldah thayyibah yang dicita-citakan.

“Sejarah selalu mengajarkan kita. Konflik yang tidak dikelola dengan baik dapat menghancurkan sebuah peradaban. Islam sebagai rahmat bagi semesta harus terus diwujudkan dalam bentuk kepemimpinan yang mengedepankan keadilan dan kemaslahatan bersama,” pungkasnya.