Duta Besar Indonesia untuk Lebanon, Hajriyanto Y. Thohari dalam Kajian Ramadan 1446 H PWM Jawa Timur (Kedungademmu.id)

Kedungademmu.id
Sejarah peradaban Islam bukan hanya tentang kejayaan, tetapi juga tentang pertarungan kepentingan dan intrik politik yang terus berulang.

Dalam salah satu sesi Kajian Ramadan 1446 H yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, di Universitas Muhammadiyah Lamongan, Hajriyanto Y. Thohari, Duta Besar Indonesia untuk Lebanon, menelusuri dinamika politik dalam sejarah Islam, dari Dinasti Umayyah dan Abbasiyah hingga konflik Palestina yang tak kunjung usai.

Perbincangan semakin menarik ketika ia membedah bagaimana Amerika Serikat memainkan perannya dalam mempertahankan eksistensi Israel dan memperpanjang penderitaan Palestina.

Sejak era klasik, Islam telah menghadapi dinamika internal yang kompleks. Dinasti Umayyah dikenal sebagai kekhalifahan yang membawa Islam ke puncak ekspansi, tetapi juga sarat dengan intrik politik dan ketimpangan sosial.

Abbasiyah, yang menggulingkan Umayyah, tidak lepas dari konflik internal dan manuver politik yang akhirnya melemahkan kekhalifahan. Sejarah ini mengajarkan bahwa kekuatan politik dalam Islam sering kali terpecah oleh ambisi kekuasaan yang mengorbankan persatuan umat.

Dari peradaban Islam klasik, Hajriyanto membawa diskusi ke ranah geopolitik modern, khususnya konflik Palestina-Israel.

Menurutnya, berdirinya Israel pada 1948 bukanlah peristiwa yang terjadi begitu saja, melainkan hasil dari permainan geopolitik global, di mana Amerika Serikat mengambil peran sebagai aktor utama dalam memastikan keberlangsungan negara Zionis itu.

“Amerika bukan hanya sekadar sekutu Israel. Mereka adalah sponsor utama yang menjamin Israel tetap memiliki kekuatan militer, ekonomi, dan diplomasi yang superior di Timur Tengah,” tegasnya.

Ia menjelaskan bahwa Amerika memberikan bantuan militer miliaran dolar setiap tahunnya kepada Israel, memasok persenjataan canggih, dan secara aktif menggunakan hak veto di PBB untuk menghalangi resolusi yang menguntungkan Palestina.

Lebih jauh, Hajriyanto menyoroti bagaimana Amerika tidak hanya mendukung Israel secara langsung, tetapi juga memainkan peran dalam menciptakan instabilitas di negara-negara sekitar Palestina.

“Perang di Irak, Suriah, dan Libya bukan hanya soal perebutan kekuasaan di tingkat lokal. Semua itu adalah bagian dari strategi besar yang, pada akhirnya, memperlemah kekuatan negara-negara Arab agar tidak bisa menjadi ancaman bagi Israel,” jelasnya.

Namun, perjuangan sebuah bangsa tidak hanya bertumpu pada kekuatan militer dan geopolitik semata. Dalam sesi ini, Dubes Hajriyanto juga menggarisbawahi peran penting pendidikan dalam membangun kejayaan suatu negara.

Mengutip pernyataan Hajriyanto Y. Thohari, ia menegaskan bahwa universitas adalah penopang utama kemajuan peradaban.

“Lihatlah negara-negara maju. Mereka tidak hanya memiliki kekuatan militer yang dominan, tetapi juga melahirkan universitas-universitas unggul yang menjadi pusat inovasi dan ilmu pengetahuan dunia,” paparnya.

Negara-negara seperti Amerika, Inggris, Jerman, dan Jepang memiliki universitas kelas dunia yang berperan sebagai lokomotif pembangunan, mencetak pemikir, ilmuwan, dan pemimpin yang membentuk masa depan.

Sebaliknya, negara-negara yang tertinggal dalam aspek pendidikan cenderung mengalami stagnasi dalam berbagai bidang.

Ketimpangan ekonomi, ketidakstabilan politik, dan ketergantungan terhadap kekuatan asing sering kali menjadi konsekuensi dari rendahnya kualitas pendidikan.

“Inilah yang harus kita renungkan. Jika kita ingin Indonesia benar-benar menjadi baldah thayyibah, negeri yang baik dan diberkahi, maka salah satu fondasinya adalah membangun sistem pendidikan yang kuat,” tandasnya.

Sebagai penutup, Hajriyanto mengajak peserta untuk tidak hanya menjadi saksi bisu dalam konflik Palestina maupun stagnasi pendidikan di dunia Islam.

“Indonesia, dengan posisinya sebagai negara Muslim terbesar, memiliki peran strategis dalam mendukung perjuangan Palestina dan membangun peradaban yang lebih maju. Ini bukan hanya soal solidaritas, tetapi juga bagian dari tanggung jawab moral dan sejarah kita sebagai umat Islam,” pungkasnya.