![]() |
Ilustrasi (www.unsplash.com) |
Kedungademmu.id—Di penghujung hari, saat matahari mulai tenggelam dan langit berubah semburat jingga, umat Muslim di seluruh dunia menyambut momen penting: buka puasa.
Lebih dari sekadar aktivitas fisik untuk mengakhiri rasa lapar dan haus, ritual ini menjadi titik temu antara disiplin spiritual dan penghambaan. Di dalamnya tersemat doa singkat yang sarat makna—doa berbuka puasa.
Bukan sebagai syarat ritual semata, melainkan ekspresi kesadaran manusia akan ketergantungannya pada rahmat Ilahi. Setiap kata dalam doa ini mencerminkan penghayatan atas perjalanan puasa seharian, sekaligus pengakuan bahwa kepasrahan dan usaha manusia selalu berpadu dalam kerangka takdir-Nya.
Secara historis, doa berbuka puasa tidak lahir dari ruang hampa. Praktik ini berakar pada tradisi Nabi Muhammad saw. yang tercatat dalam hadis sahih, di mana beliau konsisten mengawali buka puasa dengan kurma dan air, lalu membaca doa singkat tersebut.
Namun, di balik kesederhanaannya, tersimpan respons kultural terhadap realitas masyarakat Arab pra-Islam yang kerap mengaitkan ritual dengan simbolisme berlebihan. Doa ini justru menegaskan bahwa esensi ibadah terletak pada kesadaran batin, bukan kemegahan ritus.
Dalam konteks kekinian, praktik tersebut menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, mengingatkan bahwa meskipun teknologi dan gaya hidup modern telah mengubah cara kita berpuasa, inti dari penghambaan tetap tak tergantikan: pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang bergantung, sekaligus merdeka dalam ikhtiarnya.
Dari sudut pandang psikologis, momen berbuka puasa dan doa yang menyertainya bekerja seperti reset button emosional.
Penelitian dalam ilmu psikologi positif menunjukkan bahwa ritual kecil yang dilakukan dengan kesadaran penuh—seperti membaca doa berbuka—dapat meningkatkan rasa syukur (gratitude) dan mengurangi kecemasan.
Ketika seseorang berhenti sejenak, menahan diri untuk tidak langsung menyantap makanan, lalu mengucap syukur dengan doa tersebut, ia sedang melatih delayed gratification—kemampuan menunda kepuasan sesaat untuk meraih kepuasan yang lebih bermakna.
Proses ini tidak hanya memperkuat kontrol diri, tetapi juga menciptakan ruang refleksi: bahwa dalam hidup, seringkali "kelaparan" jiwa—akan pengakuan, keadilan, atau kasih sayang—tidak bisa diisi dengan solusi instan, melainkan memerlukan kesabaran dan kepercayaan pada proses.
Merujuk pada hadis sahih, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menganjurkan doa ini karena memiliki landasan yang kuat.
ذَهَبَ الظَّمَـأُ، وابْــتَلَّتِ العُرُوقُ، وثَــبَتَ الأَجْرُ إِن شَاءَ اللهُ
Hal ini disebutkan dalam hadis: “Dari Ibnu Umar ra. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Apabila Rasulullah saw berbuka, beliau berdoa: Dzahabazh-zhama’u wabtallatil-‘uruqu wa tsabatal-ajru insya Allah [Hilanglah rasa haus dan basahlah uraturat (badan) dan insya Allah mendapatkan pahala].” (HR. Abu Dawud).