Ahmad Nurefendi Fradana (Kedungademmu.id)

Oleh: Ahmad Nurefendi Fradana; Dosen Literasi Umsida
 
Kedungademmu.id—Ramadan, bulan yang identik—dan senantiasa dikaitkan dengan ketenangan spiritual dan ritual ibadah yang intens, telah lama menjadi momen permenungan dan momentum mendekatkan diri kepada Tuhan. Selama Ramadan, masjid dan musala riuh suara tilawah, salat berjamaah kian ramai, dan aura spirituaitas menjadi naik demikian drastis. Juga, di saat yang sama, grup-grup WhatApp ramai oleh pesan agama, ayat dan hadis menyebar nyaris di seluruh lini masa media sosial, dan pesan-pesan moral menghiasi saban kita buka laman.

Tapi kita selalu menyimpan ironi. Kita hidup pada zaman di mana membaca adalah aktivitas yang semakin ditinggalkan, sementara peradaban Islam justru diawali dengan perintah "Iqra"—bacalah! Sebuah perintah transformatif yang, alih-alih hanya dipahami sebagai kewajiban membaca Al-Qur’an, sejatinya adalah ajakan untuk menghidupkan tradisi literasi, berpikir, dan memahami realitas dengan kritis.

Sayangnya, sebut Tom Nichols dalam The Death of Expertise, hari-hari ini kita justru mendapati sebuah paradoks: manusia semakin banyak mengonsumsi teks, tetapi kian sedikit yang benar-benar dipahami. Ramadan, yang seharusnya menjadi momen refleksi dan pencerdasan spiritual, malah sering berakhir dengan kelelahan kolektif akibat rutinitas tanpa makna.
Iqra, perintah yang turun untuk Nabi Muhammad—seseorang yang kala itu ummi, menyiratkan sebuah perintah yang jauh melampaui sekadar membaca teks. Ia adalah seruan untuk membuka pintu-pintu pengetahuan, menapaki akar pemikiran, dan mengasah akal dengan segala kerendahan hati dan ketekunan.

Namun, realitas di era modern ini kerap memperlihatkan bagaimana ritual keagamaan di bulan suci sering kali terjebak dalam praktik yang dangkal, di mana kecepatan informasi dan gaya hidup instan menggeser makna mendalam dari sebuah literasi yang sejati. Media sosial boleh ditunjuk sebagai salah satu biang utama.

Dulu, umat Islam dikenal sebagai pelopor peradaban dengan semangat mencari ilmu yang tinggi. Dari peradaban besar di Baghdad hingga gemilangnya kebudayaan Cordoba, literasi tidak hanya dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis, tetapi sebagai jalan untuk memahami alam semesta dan eksistensi manusia. Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat tiada pernah lepas dari semangat untuk mengamalkan perintah iqra dengan sepenuh hati, di mana setiap huruf dan kata dalam Al-Qur’an dianggap sebagai kunci rahasia untuk menyingkap misteri kehidupan.


Semangat itulah yang melahirkan karya-karya besar dalam bidang filsafat, kedokteran, astronomi, dan ilmu-ilmu lainnya, yang sampai hari ini masih menjadi inspirasi bagi banyak generasi. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi keilmuan tersebut seolah tersisihkan oleh arus modernitas yang mengedepankan kecepatan dan popularitas daripada kedalaman dan kualitas pemikiran.


Di era digital ini, praktik literasi kerap kali berubah menjadi konsumsi informasi yang instan—dan tak jarang demikian dangkal. Ramadan, yang seharusnya menjadi momentum untuk menenangkan jiwa dan menguatkan tekad spiritual, justru banyak dijadikan panggung untuk menampilkan aktivitas yang serbainstan. Banyak orang berlomba-lomba menayakan jadwal tarawih, berburu takjil, dan menyebarkan konten-konten dakwah singkat di media sosial tanpa disertai refleksi mendalam.


Sementara semangat iqra mengajarkan untuk menggali makna dan memahami esensi, realitas lapangan justru menunjukkan kecenderungan untuk terjebak dalam bacaan yang hanya bersifat mekanis dan emosional. Hal ini menimbulkan suatu ironi yang memilukan, di mana pada saat umat Islam seharusnya merenung dan menata ulang pemikiran, mereka malah tenggelam dalam arus berita instan dan konten viral yang tidak selalu mengandung pesan keilmuan yang mendalam.


Pada dasarnya, perintah iqra mengandung pesan yang demikian revolusioner. Ia tidak hanya menekankan pada aspek mekanis membaca, tetapi juga pada pemahaman mendalam yang harus menyertai setiap proses pencarian ilmu. Dalam hal Ramadan, perintah tersebut seharusnya menjadi pendorong untuk mengembalikan semangat literasi yang telah lama menjadi identitas peradaban Islam.


Bacaan Al-Qur’andan pada titik tertentu juga tafsirnya harus diiringi dengan pencarian makna yang lebih luas, lebih dalam, di mana setiap ayat dan pesan bisa dijadikan pijakan untuk menafsirkan kondisi zaman—yang senantiasa bergerak dan berubah ini, untuk membangun pola pikir kritis yang mampu melawan arus kebodohan kolektif. Sayangnya, di tengah ingar-bingar media sosial dan agenda instan yang diusungnya, pesan ini kerap tersingkirkan. Banyak yang lebih memilih untuk menghafal ayat tanpa memahami konteks historis atau filosofisnya, sehingga makna yang sebenarnya hilang ditelan oleh kebiasaan konsumsi informasi yang superfisial.


Di balik kemewahan teknologi dan revolusi digital, tersimpan paradoks yang menyakitkan. Masyarakat modern terjebak dalam kebiasaan membaca yang serbacepat, tanpa menyempatkan diri untuk merenungi setiap kalimat yang mereka baca sendiri tadi. Buku-buku referensi yang 'tebal' dan 'kokoh' kian tersisih dan kemudian mulai tergantikan oleh informasi—atau sesungguhnya bisa disebut hiburan instan.


Ramadan, yang seharusnya menjadi momentum untuk mengembalikan kualitas literasi, malah kerap dijadikan ajang pamer amalan yang terukur secara kuantitatif, tanpa menekankan pada kualitas. Kegiatan membaca di bulan suci sering kali berubah menjadi kompetisi jumlah juz yang telah dikhatamkan, seolah-olah angka-angka tersebut sudah cukup untuk menggantikan pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam. Kenyataan ini merupakan cermin betapa jauh kita telah meninggalkan makna hakiki perintah iqra.


Pada saatnya, semangat literasi seharusnya ditunjukkan dengan cara-cara yang lebih bermakna. Bulan Ramadan adalah waktu yang tepat untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual yang pernah menjadi kekuatan peradaban Islam. Setiap individu Muslim harus mampu menemukan kembali kebesaran ilmu yang tidak hanya terletak pada hitungan waktu atau jumlah huruf yang dihafal, melainkan pada kualitas pemahaman dan penerapan nilai-nilai keilmuan dalam kehidupan sehari-hari. Kita tahu: Islam adalah agama amal—bukan sekadar pengetahuan. Di sinilah letak esensi perintah iqra yang sesungguhnya, yang mengajak setiap kita untuk menggali lebih dalam, mencari kebenaran di balik teks, dan meresapi setiap pesan dengan penuh kesungguhan.


Lebih jauh lagi, fenomena literasi di era modern tak lepas dari fenomena hoaks dan informasi yang tidak terverifikasi. Di masa Ramadan, ketika banyak pihak berlomba-lomba menyebarkan konten-konten keagamaan, arus informasi sering kali tak terfilter dengan baik. Banyak pesan yang tersaji tanpa dasar yang kuat, yang justru menimbulkan kebingungan dan disorientasi di kalangan umat. Kebiasaan mengonsumsi informasi secara instan telah menciptakan generasi yang cepat merasa puas dengan apa yang ada di permukaan, tanpa pernah menyelami lebih dalam untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya. Hal ini bukan hanya mengikis nilai-nilai intelektual, tetapi juga mengikis kepercayaan diri dalam memahami agama dengan cara yang otentik dan mendalam.


Bulan Ramadan seharusnya menjadi titik balik. Sebuah momentum untuk menolak gaya hidup konsumtif yang membuat literasi berubah menjadi hiburan semata, dan kembali mengembalikan nilai-nilai keilmuan yang telah lama menjadi identitas umat Islam. Di balik keindahan tradisi tarawih dan sahur, harus ada ruang untuk merenung, membaca dengan hati yang terbuka, dan memahami setiap pesan dengan penuh kesungguhan. Ramadan harus dipandang bukan hanya sebagai waktu untuk mengukur seberapa banyak kita bisa mengkhatamkan Al-Qur’an, melainkan sebagai waktu untuk mengkhatamkan kebodohan dan menyambut kembali era pemikiran kritis yang pernah mengangkat derajat peradaban.


Kemudian, pergeseran paradigma literasi juga harus dimulai dari perubahan pola pikir. Gaya hidup modern yang serbacepat tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan esensi membaca dan memahami. Teknologi, yang seharusnya menjadi alat untuk membuka akses kepada pengetahuan, kini kerap digunakan sebagai pengganti proses berpikir yang mendalam. Di bulan Ramadan, di mana setiap individu memiliki waktu lebih untuk merenung, seharusnya teknologi dimanfaatkan untuk memperkaya wawasan dengan sumber-sumber ilmu yang kredibel, bukan sekadar konten yang mudah viral namun kosong makna.


Tanggung jawab kolektif untuk menjaga keutuhan literasi harus dimulai dari individu, dari setiap keluarga, dan dari setiap komunitas yang mengerti bahwa membaca bukan hanya tentang menelusuri huruf, tetapi juga tentang menelusuri makna yang tersembunyi di balik setiap kata. Situasi ini menuntut sebuah revolusi pemikiran—dan tentu saja tindakan, di mana setiap langkah membaca harus disertai dengan refleksi mendalam dan diskursus intelektual yang kritis. Ramadan menawarkan kesempatan emas untuk melakukan hal ini.