Ilustrasi (www.pexels.com)

Kedungademmu.id
Dalam upaya memperdalam pemahaman umat terhadap Al-Qur’an, Kedungademmu.id menghadirkan kajian tafsir rutin yang berfokus pada Tafsir Ibnu Katsir.

Kali ini, kami berkesempatan mewawancarai Kamijan, Ketua Lazismu Kedungadem, Bojonegoro yang juga seorang pendidik untuk mengupas makna QS. Al-Fatihah: 5:

اِيَّا كَ نَعْبُدُ وَاِ يَّا كَ نَسْتَعِيْنُ

"Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan."

Makna Qira’ah dan Kebakuan Lafaz

Dalam pembacaan ayat ini, mayoritas ulama qira’ah (jumhur ulama) membacanya dengan tasydid pada huruf "ya" dalam "iyyaka". Ada beberapa qira’ah lain seperti versi Amr ibnu Fayid yang membacanya tanpa tasydid (iyaka), namun qira’ah ini dianggap syadz (tidak mutawatir) sehingga tidak digunakan.

Lafaz "nasta'inu" dalam ayat ini pun umumnya dibaca dengan fathah pada huruf "nun", kecuali dalam dialek tertentu dari suku Bani Asad, Bani Rabi'ah, dan Bani Tamim yang membacanya dengan kasrah.

Makna Ibadah dan Tawakal

Secara bahasa, "al-‘ibadah" berasal dari kata az-zullah, yang bermakna tunduk dan patuh. Dalam istilah syari, ibadah mencakup rasa cinta, ketundukan, dan ketakutan kepada Allah secara sempurna.

Lafaz "iyyaka na’budu" menunjukkan tauhid dalam ibadah, yakni hanya kepada Allah-lah segala bentuk penyembahan ditujukan.

Sedangkan "iyyaka nasta'in" menunjukkan ketergantungan mutlak kepada Allah, melepaskan diri dari kesombongan dan merasa cukup dengan kekuatan sendiri.

Pergeseran Gaya Bahasa dalam Ayat

Menariknya, dalam ayat ini terjadi perubahan bentuk kalimat dari pihak ketiga (gaibah) menjadi lawan bicara langsung (muwajahah) melalui kata "iyyaka", yang berarti "hanya kepada Engkau".

Perubahan ini menciptakan kesan kedekatan antara hamba dan Allah, seakan-akan seorang mukmin benar-benar sedang berdiri di hadapan-Nya dalam ibadah.

Hal ini menegaskan bahwa awal surat Al-Fatihah adalah pujian kepada Allah, dan ayat kelima ini adalah deklarasi ketundukan total.

Bahkan dalam hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., Allah berfirman:

"Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian: separuh untuk-Ku, dan separuh untuk hamba-Ku, serta bagi hamba-Ku apa yang ia minta." (HR. Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa bacaan surat Al-Fatihah dalam shalat bukan sekadar ritual, tetapi dialog langsung antara seorang hamba dan Rabb-nya.

Mengapa Menggunakan "Kami" dalam Ayat Ini?

Salah satu pertanyaan menarik dalam tafsir ayat ini adalah penggunaan kata "na'budu" (kami menyembah) dan "nasta'inu" (kami mohon pertolongan), padahal sering kali seorang Muslim berdoa secara individu.

Jawabannya, kata "kami" mencerminkan kebersamaan umat Islam dalam beribadah.

Seorang Muslim, bahkan saat sendirian, tetap menjadi bagian dari komunitas hamba-hamba Allah yang tunduk kepada-Nya. Ini juga menanamkan sikap rendah hati, bahwa seseorang tidak boleh merasa cukup hanya dengan ibadahnya sendiri, tetapi harus merasa sebagai bagian dari jamaah kaum Muslimin.

Selain itu, lafaz "iyyaka na'budu" didahulukan atas "iyyaka nasta'inu" karena ibadah adalah tujuan utama, sedangkan meminta pertolongan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut.

Pelajaran dari Ayat Ini

Dari tafsir QS. Al-Fatihah: 5, kita dapat mengambil beberapa pelajaran penting:

Pertama, tauhid dalam Ibadah. Hanya Allah yang layak disembah, tanpa menyekutukan-Nya dengan makhluk apa pun.

Kedua, ketergantungan mutlak kepada Allah. Seorang Muslim harus menyadari bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, sehingga hanya kepada-Nya kita meminta pertolongan.

Ketiga, pentingnya keikhlasan. Ibadah harus dilakukan dengan niat murni hanya karena Allah, bukan karena ingin pujian atau keuntungan duniawi.

Keempat, kebersamaan dalam ibadah. Seorang Muslim bukan individu yang terisolasi, melainkan bagian dari umat yang satu.

Dengan memahami makna mendalam dari ayat ini, kita semakin menyadari bahwa shalat bukan sekadar bacaan lisan, tetapi sebuah pernyataan janji setia kepada Allah.