يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَمَا يَخۡدَعُونَ إِلَّآ أَنْفُسَهُمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ
"Mereka hendak menipu Allah Swt dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri tanpa mereka sadari."
Kajian tafsir Ibnu Katsir mengupas ayat ini secara mendalam, mengungkapkan bahwa orang-orang munafik itu bukan hanya sekadar mengucapkan kalimat keimanan secara lahiriah, tetapi dengan sengaja menyembunyikan kekufuran di dalam hati. Mereka berusaha menciptakan citra keimanan demi melindungi diri dari ancaman duniawi—sebuah tipu daya yang pada akhirnya hanya berbalik menyerang diri mereka sendiri.
Mekanisme Tipu Daya dalam Kemunafikan
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kemunafikan merupakan permainan pikiran yang cenderung mengelabui diri sendiri. Orang munafik merasa, dengan menampakkan keimanan, mereka dapat menipu Allah dan mengelabui hati orang-orang beriman. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya: tipu daya itu tidak akan pernah mampu menipu Yang Maha Mengetahui, melainkan justru merugikan pelakunya.
Secara terminologis, istilah mukhadi'—yang berarti “penipu”—dipakai untuk menggambarkan mereka yang menyembunyikan isi hati demi keselamatan diri, padahal dalam tindakan itu, mereka justru menghancurkan diri sendiri. Mereka seolah terperangkap dalam ironi: berusaha mengamankan dunia dengan topeng keimanan, namun di akhirat, topeng itulah yang menjadi sebab kehancuran jiwa.
Kontradiksi Antara Lisan dan Hati
Ayat ini menyingkap kontradiksi mendasar antara ucapan dan perasaan batin. Dalam pandangan Ibnu Katsir, orang munafik hanya mengandalkan kata-kata—ucapan yang indah dan meyakinkan—untuk menyembunyikan kekosongan iman yang ada dalam hati. Mereka mengira, dengan berkata "Kami beriman kepada Allah dan hari akhir," mereka bisa meraih keuntungan duniawi sekaligus menghindari siksa. Namun, karena hati mereka telah rusak oleh penyakit kekufuran, Allah menambah parah keadaan itu.
Dukungan ayat lain, seperti Q.S. Al-Mujadalah 58:18 dan Q.S. An-Nisa 4:142, semakin menegaskan bahwa tipu daya mereka itu tidak lebih dari ilusi semata. Allah swt menolak tipu daya tersebut dengan menyatakan, "mereka hanya menipu dirinya sendiri," suatu fakta yang seharusnya menjadi cermin bagi setiap hamba untuk senantiasa menjaga keikhlasan dan kemurnian hati.
Relevansi Pesan bagi Umat Masa Kini
Di era modern, di mana penampilan dan citra sering kali menjadi tolok ukur kepercayaan, pesan ayat ini mengingatkan kita untuk tidak terjebak pada kemunafikan. Tidak cukup hanya dengan ucapan yang meyakinkan; iman sejati harus terpatri dalam perbuatan dan ketulusan hati.
Ibnu Katsir mengajak kita untuk merenungi betapa mudahnya kita terperangkap dalam kepura-puraan, baik dalam dunia kerja, lingkungan sosial, atau bahkan dalam kehidupan beribadah. Pesan yang terkandung di sini bukan hanya sekadar peringatan, melainkan panggilan untuk kembali pada keikhlasan, agar setiap ucapan keimanan diiringi oleh amal nyata dan kesungguhan hati.
Kajian tafsir Ibnu Katsir atas Q.S. Al-Baqarah 2:9 mengajarkan bahwa kemunafikan adalah kondisi yang membahayakan diri sendiri. Dengan menampakkan iman secara lahiriah namun menyembunyikan kekufuran dalam hati, orang munafik akhirnya menipu dirinya sendiri—suatu kenyataan yang Allah swt tidak pernah luput dari pengawasan-Nya.
Pesan ini mengandung tantangan besar bagi setiap umat: untuk senantiasa mengevaluasi keimanan secara menyeluruh, memastikan bahwa apa yang tersaji di luar selaras dengan kondisi hati, agar tidak terjebak dalam tipu daya yang akan menjerumuskan pada kehancuran spiritual.
Semoga kajian ini memberikan pencerahan dan menginspirasi kita untuk terus memperbaiki diri, meninggalkan kemunafikan, dan menapaki jalan keikhlasan yang sesungguhnya.
Wallahu a’lam.