Ilustrasi (www.pexels.com)

Kedungademmu.id
Untuk menggali pemahaman lebih dalam mengenai ayat ini, redaksi Kedungademmu.id berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan Kamijan, Ketua Lazismu Kedungadem, Bojonegoro, yang juga seorang pendidik serta aktif dalam kajian keislaman.

Dalam setiap rakaat salat, umat Islam mengucapkan doa dalam QS. Al-Fatihah: 6.

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ

"Tunjukilah kami jalan yang lurus."

Ayat ini mengandung kedalaman makna yang terus menginspirasi.

Dalam kajian tafsirnya, Ibnu Katsir membahas berbagai perbedaan bacaan dan penafsiran ayat tersebut yang mengandung pesan mendalam tentang hidayah dan petunjuk dari Allah Swt.

Variasi Qira’ah dan Makna Hidayah

Sebagian ulama membaca lafaz ini dengan sebutan "ash-shirath" menggunakan huruf "shad", sedangkan ada pula yang membacanya dengan "sirat" (menggunakan "sin") atau "zirat" (dengan "za") sesuai dialek Bani Uzrah dan Bani Kalb.

Menurut Ibnu Katsir, perbedaan pelafalan ini menunjukkan kekayaan bahasa Arab, namun esensi permohonan kepada Allah Swt. untuk diberikan petunjuk tetap sama.

Hidayah dalam ayat ini diartikan sebagai anugerah ilham, petunjuk, serta taufik yang memungkinkan seseorang menjalani kehidupan sesuai dengan perintah-Nya.

Contoh penjelasan terkait makna hidayah terdapat pada beberapa ayat lain, misalnya:

وَهَدَيْناهُ النَّجْدَيْنِ

"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan)." (QS. Al-Balad: 10).

اجْتَباهُ وَهَداهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

"Allah telah memilihnya dan memberinya petunjuk ke jalan yang lurus." (QS. An-Nahl: 121).

Mengapa Memohon Hidayah?

Sebagaimana diajarkan oleh hadis qudsi:

"Setengah dari Al-Fatihah adalah untuk-Ku, dan setengahnya lagi untuk hamba-Ku, serta bagi hamba-Ku apa yang ia minta."

Dengan memulai permohonan dengan pujian kepada Allah Swt., hamba menunjukkan kerendahan hati dan keikhlasan, sehingga doa permohonan petunjuk menjadi lebih diterima.

Contohnya terlihat dalam doa Nabi Musa a.s. yang memohon kepada Tuhannya:

رَبِّ إِنِّي لِما أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (QS. Al-Qashash: 24).

Definisi "Jalan yang Lurus"

Para ulama sepakat bahwa istilah "siratal mustaqim" merujuk pada jalan yang jelas, tidak berbelok, dan penuh kebenaran. Beberapa pendapat antara lain:

Pertama, Islam sebagai agama kebenaran: Menurut Ibnu Abbas dan sebagian sahabat, jalan yang lurus adalah agama Islam itu sendiri.

Kedua, Al-Qur’an sebagai Petunjuk: Sebagian ulama menafsirkan bahwa jalan yang lurus adalah Kitabullah, yang merupakan tali Allah Swt. yang kuat bagi hamba-Nya.

Ketiga, teladan Rasul dan para khalifah: Ada pula yang menyatakan bahwa mengikuti jejak Rasulullah saw. beserta para khalifah pertama (Abu Bakar dan Umar bin Khatab) merupakan jalan yang lurus.

Semua definisi ini saling melengkapi, karena dengan mengikuti jalan Islam, seorang mukmin tidak hanya mendapatkan petunjuk dalam kehidupan dunia, tetapi juga persiapan untuk hari pembalasan.

Kajian tafsir Ibnu Katsir atas ayat "Tunjukilah kami jalan yang lurus" mengingatkan kita bahwa doa ini adalah permohonan hakiki kepada Allah Swt. untuk diberikan petunjuk, taufik, dan bimbingan sehingga senantiasa berada di jalan kebenaran.

Dengan berpegang pada Al-Qur’an, meneladani Rasulullah saw, dan mengikuti para sahabat, kita diharapkan mendapatkan hidayah yang membawa keberkahan dunia dan akhirat.

Semoga dengan pemahaman yang lebih mendalam ini, setiap hamba semakin istikamah dalam menjalani kehidupan sesuai dengan perintah Allah Swt. Amin.