![]() |
Abdul Mu'ti (tengah) dalam suatu forum (www.muhammadiyah.or.id) |
Kedungademmu.id—Berdasarkan penjelasan dari sumber dari artikel Abdul Mu’ti Menjelaskan Persentuhan Kebudayaan Islam dengan Barat sampai Dakwah Walisongo di Jawa yang diterbitkan oleh Muhammadiyah.or.id, kita diajak untuk memahami bahwa peradaban Islam di Indonesia merupakan hasil persentuhan lintas budaya yang dinamis.
Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang saat ini menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, menjelaskan bahwa interaksi awal antara peradaban Islam-Arab dan budaya Barat berlangsung dalam suasana damai dan menghasilkan perpaduan nilai yang unik.
Harmoni Awal Persentuhan Budaya
Dalam pandangan Mu’ti, pertemuan antara budaya Islam-Arab dengan pengaruh Barat pada masa awal tidak ditandai oleh konflik, melainkan oleh dukungan timbal balik.
Hal ini terlihat dari evolusi busana dan gaya hidup yang kemudian muncul sebagai simbol perlawanan sekaligus ekspresi kebebasan.
Contohnya, busana perempuan di Eropa yang awalnya mengenakan pakaian tertutup kini berubah menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi laki-laki—sebuah transformasi yang menggambarkan betapa dinamisnya peradaban yang bersentuhan dengan nilai-nilai baru.
Dakwah Wali Songo: Asimilasi dan Adaptasi Budaya
Lebih jauh, Mu’ti menyoroti strategi dakwah Wali Songo yang cerdas dalam mengadaptasi budaya lokal tanpa mengubah esensi tauhid. Salah satu contoh yang menonjol adalah Sunan Kudus, yang dengan sengaja menggabungkan unsur-unsur keagamaan Hindu ke dalam nilai-nilai Islam.
Pendekatan asimilatif ini memungkinkan Islam diterima dengan lebih mudah oleh masyarakat Jawa yang sudah memiliki akar budaya lokal.
Wali Songo bukan hanya menyampaikan pesan dakwah, melainkan juga memperlihatkan bahwa Islam dapat hidup berdampingan dan menyerap unsur budaya lokal selama tidak mengorbankan prinsip keesaan Allah.
Refleksi Kebudayaan Islam dan Modernitas
Abdul Mu’ti juga mengingatkan bahwa seni, dalam segala bentuknya—mulai dari musik hingga arsitektur—merupakan cerminan tinggi rendahnya peradaban.
Musik jazz di Eropa, misalnya, meskipun kini identik dengan budaya modern, awalnya merupakan simbol perlawanan politik bagi masyarakat kulit hitam. Hal ini mengajarkan bahwa perubahan budaya selalu dipicu oleh dinamika sosial dan politik yang kompleks.
Begitu pula, transformasi dalam mode busana dan ekspresi artistik tidak hanya soal penampilan, melainkan juga pernyataan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
Menjaga Esensi Sambil Menghargai Perbedaan
Dari sudut pandang Muhammadiyah, persentuhan budaya yang terjadi baik di dunia internasional maupun di Indonesia mengajarkan kita untuk tidak memandang perbedaan sebagai hambatan.
Justru, melalui proses asimilasi dan adaptasi—seperti yang dilakukan oleh Wali Songo—Islam dapat berkembang tanpa kehilangan esensinya.
Kekuatan dakwah terletak pada kemampuan untuk meresapi dan mengolah nilai-nilai lokal, sehingga menghasilkan identitas Islam yang relevan dan hidup di tengah perubahan zaman.
Berdasarkan sumber tersebut, kita memahami bahwa persentuhan antara budaya Islam-Arab dan Barat telah menghasilkan fenomena budaya yang kaya dan kompleks.
Dakwah Wali Songo di Jawa merupakan contoh nyata bagaimana Islam dapat mengasimilasi nilai lokal tanpa mengorbankan prinsip tauhid. Dalam era modernisasi ini, pemikiran Muhammadiyah terus mengingatkan umat untuk selalu merujuk kepada nilai-nilai keislaman yang murni, sembari terbuka terhadap dinamika budaya yang terus berkembang.