Din Syamsudin dalam Kajian Ramadan 1446 H PWM Jawa Timur (Kedungademmu.id)

Kedungademmu.id
Dalam lanjutan sesi Kajian Ramadan 1446 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2010 dan 2010-2015, Din Syamsuddin menegaskan bahwa konsep baldatun thayyibatun warabbun ghafur bukan sekadar retorika religius, melainkan sebuah visi peradaban yang menuntut keseimbangan antara kekuatan fisik dan nonfisik.

Dalam pemaparannya, Prof. Din menjelaskan bahwa negeri ideal dalam perspektif Islam harus memiliki dua pilar utama: infrastruktur fisik yang kokoh dan infrastruktur nonfisik yang mendalam. Infrastruktur fisik mencakup pembangunan yang nyata—jalan yang baik, sistem transportasi yang efisien, teknologi yang maju, dan sumber daya alam yang dikelola dengan bijak.

Tanpa fondasi ini, sebuah negara akan mudah terguncang oleh krisis ekonomi dan ketertinggalan teknologi.

Namun, lebih dari itu, negeri yang benar-benar thayyibah tidak cukup hanya memiliki gedung pencakar langit dan jalan tol yang mulus. Ia juga harus dibangun di atas infrastruktur nonfisik yang kuat—nilai-nilai keadaban, kejujuran, kepemimpinan yang amanah, serta masyarakat yang menjunjung tinggi etika dan spiritualitas.

"Apa gunanya negeri yang megah secara fisik, tetapi korup? Sejarah membuktikan bahwa peradaban runtuh bukan karena kurangnya harta, tetapi karena rapuhnya karakter," tegasnya.

Indonesia, menurut Prof. Din, sudah memiliki potensi besar untuk menjadi negeri baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Sumber daya melimpah, budaya yang kaya, dan keberagaman yang bisa menjadi kekuatan, seharusnya dikelola dengan visi peradaban yang berlandaskan moral dan etika.

“Tinggal pertanyaannya, apakah kita mampu menjaga keseimbangan antara keduanya, atau justru membiarkan sejarah kaum Saba, ‘Ād, dan Tsamud terulang kembali?” pungkasnya.

Pancasila sebagai Infrastruktur Nilai Menuju Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur
Prof. Din menegaskan bahwa konsep baldatun thayyibatun warabbun ghafur bukan hanya idealisme utopis, melainkan sesuatu yang dapat diwujudkan dalam realitas kebangsaan.

Dalam hal Indonesia, katanya, Pancasila adalah infrastruktur nilai yang menopang negara ini agar tetap bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Menurutnya, sebagaimana negeri yang diberkahi, Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk menjadi negara yang sejahtera dan diridai oleh Allah. Namun, keberhasilan itu sangat bergantung pada bagaimana nilai-nilai dasar negara dijalankan.

“Pancasila adalah landasan moral, sosial, dan politik yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata,” tegasnya.

Ia menjelaskan bahwa lima sila dalam Pancasila sejatinya adalah prinsip dasar yang membentuk infrastruktur nonfisik negeri ini.

Ketuhanan Yang Maha Esa menegaskan spiritualitas bangsa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah nilai universal yang menjamin martabat manusia; Persatuan Indonesia adalah fondasi kebangsaan yang menjaga keutuhan negeri; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan memastikan demokrasi yang bermartabat; dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menjadi tujuan akhir kesejahteraan bersama.

"Jika nilai-nilai ini benar-benar dijalankan, maka Indonesia tidak hanya menjadi negara yang kuat secara fisik, tetapi juga memiliki jiwa yang sehat. Inilah esensi dari baldatun thayyibatun warabbun ghafur dalam konteks kebangsaan kita," pungkasnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa tantangan terbesar bukan terletak pada konsepnya, melainkan pada implementasinya. Apakah kita benar-benar menjalankan Pancasila sebagai pegangan hidup, atau hanya menjadikannya jargon kosong?

Dengan refleksi ini, Prof. Din mengajak peserta untuk tidak hanya mengagumi konsep negeri yang baik dan diberkahi, tetapi juga berperan aktif dalam mewujudkannya melalui pengamalan nilai-nilai Pancasila secara nyata.

Negeri Saba, Kemakmuran Tanpa Kedalaman Syukur
Prof. Din kemudian menyoroti kisah negeri Saba sebagai contoh nyata peradaban yang mencapai puncak kemakmuran tetapi gagal menjaga kedalaman spiritualitasnya.

Menurutnya, Saba bukan sekadar legenda dalam kitab suci, melainkan gambaran nyata bagaimana sebuah bangsa dapat mencapai kejayaan luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi.

“Mereka memiliki sistem irigasi yang canggih, perencanaan kota yang maju, dan hasil bumi yang melimpah. Ini adalah negeri dengan high civilization dalam ukuran dunia,” ujarnya.

Namun, Prof. Din mengingatkan bahwa kemakmuran saja tidak cukup untuk menjamin keberlangsungan suatu peradaban.

Kegagalan terbesar Saba bukan terletak pada lemahnya teknologi atau sumber daya, tetapi pada dangkalnya rasa syukur mereka terhadap Allah.

“Mereka memiliki heights of prosperity, tetapi tidak memiliki depths of gratitude,” tegasnya.

Ketika kesombongan dan keangkuhan mulai menguasai kaum Saba, mereka melupakan siapa yang sebenarnya memberikan karunia itu.

Bukannya bersyukur dan menjaga harmoni dengan nilai-nilai ketuhanan, mereka justru berpaling dan memilih jalan yang menjauh dari keadilan dan keadaban.

Akibatnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, Allah mengirimkan banjir besar yang menghancurkan seluruh kejayaan mereka.

Prof. Din kemudian mengaitkan pelajaran dari Saba ini dengan kondisi Indonesia. Menurutnya, negeri ini juga telah diberkahi dengan sumber daya yang melimpah dan potensi besar untuk menjadi baldatun thayyibatun warabbun ghafur.

Namun, pertanyaannya adalah: apakah kita telah memiliki kedalaman syukur yang cukup untuk menjaga karunia ini? Atau justru kita sedang berjalan di jalan yang sama seperti Saba?

"Dalam banyak hal, Indonesia hari ini adalah negeri yang kaya, tetapi apakah kita cukup bersyukur dengan mengelola kekayaan itu dengan adil, bijak, dan penuh tanggung jawab?" pungkasnya.