Ilustrasi (www.pexels.com)

Kedungademmu.id
Dalam perjalanan kehidupan keagamaan umat Islam, terdapat beragam pemahaman yang terus berkembang mengenai tata cara beribadah dan mengakses ilmu. Salah satu perdebatan yang kerap muncul adalah mengenai kebolehan perempuan yang sedang haid untuk membaca Al-Qur'an serta mengikuti kajian—bahkan hanya untuk sekadar masuk masjid.

Dalam perspektif yang lebih modern dan inklusif, sejumlah ulama dan pemikir keagamaan, termasuk melalui pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah, menekankan bahwa perempuan haid tidak dibatasi secara mutlak oleh syariat untuk mengakses kitab suci maupun mengikuti pembelajaran keagamaan. Perempuan yang sedang haid tetap berhak mendapatkan ilmu tanpa mengurangi penghormatan terhadap ruang suci.


Tradisi keagamaan Islam telah lama menetapkan tata cara ibadah yang mencakup berbagai aspek kehidupan spiritual dan sosial. Pembahasan tentang hak akses perempuan dalam ibadah, terutama ketika mengalami haid, kerap kali mengundang perhatian—bahkan tak jarang menimbulkan perdebatan di kalangan ulamat.


Secara historis, beberapa pandangan menekankan bahwa kondisi haid merupakan masa di mana perempuan sebaiknya tidak langsung bersentuhan dengan Al-Qur'an karena dianggap menyangkut kesucian kitab tersebut. Namun, perkembangan pemikiran keagamaan saat ini mendorong kita untuk meninjau kembali prinsip-prinsip tersebut dalam konteks etika, tujuan ibadah, dan akses ilmu.


Pandangan yang berkembang ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi kekhusyukan Al-Qur'an, melainkan sebagai upaya agar setiap individu dapat terus mencari ilmu dan mendalami ajaran agama dengan penuh keyakinan. Penafsiran semacam ini sejalan dengan upaya menjaga keseimbangan antara tradisi yang telah ada dan tantangan zaman yang terus berubah. Oleh karena itu, perempuan yang sedang haid tetap memiliki ruang untuk membaca dan memahami Al-Qur'an secara mendalam, tanpa adanya larangan yang bersifat absolut.


Dikutip dari Muhammadiyah.or.id, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah memberikan penafsiran yang progresif terkait masalah ini. Menurut pandangan yang diutarakan, tidak ada ketentuan syariat yang secara eksplisit melarang perempuan yang sedang haid untuk membaca Al-Qur'an. Larangan yang seringkali dikemukakan lebih merupakan upaya menjaga kesucian dan etika dalam memperlakukan teks suci tersebut. Hal ini mencerminkan pemahaman bahwa inti dari ibadah terletak pada niat dan penghayatan batin, bukan semata-mata pada kondisi fisik atau ritual semata.


Perempuan haid dianjurkan untuk tetap mengakses ilmu melalui pembacaan Al-Qur'an, asalkan dilakukan dengan tata cara yang mencerminkan penghormatan terhadap keagungan teks tersebut. Sikap ini tidak hanya membuka jalan bagi perempuan untuk tetap aktif dalam dunia keilmuan agama, tetapi juga menekankan bahwa pencarian ilmu merupakan hak asasi setiap muslim, tanpa terkecuali.


Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara etika ibadah dan kebutuhan untuk terus belajar serta mengembangkan pemahaman keagamaan.


Larangan membaca Al-Quran lebih bersifat etika dan penghormatan terhadap Al-Qur’anbukan hukum syariat yang mutlak. Tidak ada hadis sahih yang secara eksplisit melarang orang berhadas besar membaca Al-Qur’an. Sebaliknya, sebuah hadis sahih dari Aisyah r.a. justru menyatakan, “Adalah Nabi saw. menyebut nama Allah dalam segala keadaan.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi). Jika berzikir kepada Allah diperbolehkan dalam segala kondisi, termasuk saat berhadas besar, maka membaca Al-Qur’an, yang pada dasarnya juga bentuk zikir, dapat pula dilakukan.


Keberadaan etika dalam pembacaan Al-Qur'an merupakan aspek penting yang menjadi landasan bagi sebagian besar pemikiran keagamaan kontemporer. Pembacaan kitab suci harus dilakukan dengan kesadaran penuh terhadap makna, tata cara, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Bagi perempuan yang sedang haid, etika ini berarti bahwa setiap interaksi dengan Al-Qur'an harus disertai dengan sikap penghormatan dan ketulusan.


Sebagai contoh, saat membaca Al-Qur'an, perempuan diharapkan menjaga suasana hati dan pikiran agar tidak terkesan asal-asalan dalam mendekati teks suci. Hal ini juga mencakup pemahaman terhadap makna ayat-ayat yang dibaca dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembacaan Al-Qur'an oleh perempuan haid tidak mengurangi nilai spiritual yang terkandung, melainkan justru mempertegas bahwa hak untuk mengakses ilmu merupakan bagian integral dari perjalanan keimanan.


Tidak hanya dalam konteks pembacaan Al-Qur'an, perempuan haid juga diperbolehkan untuk mengikuti kajian di masjid. Namun, keikutsertaan ini harus disertai dengan kesadaran untuk menjaga kebersihan dan kehormatan ruang ibadah. Lingkungan masjid merupakan tempat suci yang dijaga agar tetap terjaga kesuciannya, dan setiap individu yang hadir di sana diharapkan turut menjaga agar kondisi tersebut tidak tercemar.


Praktik menjaga kebersihan di masjid bukan semata-mata sebagai upaya ritualistik, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi dan nilai-nilai yang telah diwariskan. Perempuan yang sedang haid diharapkan untuk menerapkan tata cara kebersihan yang baik sehingga kehadiran mereka tidak mengganggu konsentrasi ibadah bersama. Partisipasi dalam kajian keagamaan tetap dapat berlangsung harmonis, di mana setiap individu saling menghargai dan menjaga integritas ruang suci.


Pendekatan inklusif yang mengizinkan perempuan haid untuk membaca Al-Qur'an dan mengikuti kajian di masjid memiliki implikasi sosial yang luas. Di satu sisi, hal ini memperkuat posisi perempuan sebagai agen perubahan dalam masyarakat Islam. Kesempatan untuk mengakses ilmu secara penuh membuka jalan bagi perempuan untuk berkontribusi secara signifikan dalam penyebaran pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan.


Di sisi lain, kebijakan ini juga mencerminkan upaya untuk menghapus stigma dan diskriminasi yang mungkin masih melekat dalam beberapa pandangan tradisional. Dengan memberikan ruang yang setara bagi perempuan dalam kegiatan keagamaan, masyarakat diharapkan dapat membangun dialog yang konstruktif dan meningkatkan kualitas keimanan secara menyeluruh.


Partisipasi aktif perempuan dalam berbagai kegiatan keagamaan merupakan cerminan dari semangat inklusif yang mendorong kemajuan umat, di mana setiap individu memiliki hak yang sama untuk mengembangkan potensi diri melalui ilmu dan ibadah.

Selain itu, pengakuan atas hak perempuan dalam mengakses ilmu juga sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan pemerataan pendidikan. Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama, tidak seharusnya menjadi hak istimewa yang dibatasi oleh kondisi biologis atau stereotip gender.


Sebaliknya, setiap Muslim, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki hak untuk memperoleh pengetahuan yang dapat memperkuat keimanan dan memperkaya wawasan spiritual. Dengan demikian, kebijakan yang mendukung inklusivitas ini diharapkan mampu menciptakan masyarakat yang lebih egaliter dan berkeadaban.


Perkembangan zaman menuntut adanya penyesuaian antara tradisi keagamaan yang telah ada dengan kebutuhan zaman modern. Dalam konteks ini, penafsiran ulang mengenai larangan bagi perempuan haid untuk membaca Al-Qur'an merupakan salah satu contoh bagaimana umat Islam beradaptasi tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar agama. Pendekatan ini menunjukkan bahwa esensi ibadah tidak hanya terletak pada ritual fisik semata, tetapi juga pada pemahaman mendalam terhadap makna dan tujuan di balik setiap perbuatan ibadah.


Dialog antara tradisi dan modernitas ini membuka ruang bagi interpretasi yang lebih fleksibel dan kontekstual. Umat Islam diajak untuk terus mengkaji dan merefleksikan kembali praktik-praktik keagamaan yang mungkin sudah tidak relevan dengan kondisi sosial dan budaya saat ini.


Perubahan paradigma seperti ini tidak hanya membawa manfaat dalam hal peningkatan kualitas ibadah, tetapi juga membantu mengurangi kesenjangan antara generasi lama dan generasi muda dalam memahami ajaran agama. Perempuan haid, dalam hal ini, dapat memanfaatkan kesempatan untuk terus belajar dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan, sekaligus menjaga nilai-nilai tradisional yang telah menjadi identitas umat Islam.


Kendati pemahaman inklusif mengenai akses perempuan haid terhadap ilmu telah mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, masih terdapat tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana mengatasi perbedaan interpretasi yang ada di masyarakat. Beberapa pihak masih memegang teguh pandangan konservatif yang menolak kemungkinan perempuan haid untuk berinteraksi dengan Al-Qur'an secara langsung. Dialog yang konstruktif antara ulama, cendekiawan, dan masyarakat luas sangat diperlukan untuk mencapai kesepakatan yang lebih inklusif.