![]() |
Ilustrasi (www.unsplash.com) |
Kedungademmu.id—Belakangan ini, media sosial tengah diramaikan oleh fenomena viral sebuah syair berbahasa Arab yang dikenal dengan sebutan "Tob Tobi Tob."
Banyak warganet yang berlomba-lomba membuat konten hafalan cepat syair ini, sementara sebagian lainnya menjadikannya sebagai meme atau backsound dalam video, terutama saat bulan Ramadan tahun ini.
Namun, di balik keseruan tren ini, tersimpan jejak sejarah intelektual yang telah berakar lebih dari seribu tahun yang lalu.
Dalam bahasa Arab, kata syi'ir atau syu'ur memiliki makna perasaan atau menyadari. Seiring waktu, makna berkembang menjadi Syi'ru, yang merujuk pada puisi atau ungkapan perasaan yang dituangkan dalam bait-bait berirama.
Syair dalam Tradisi Bangsa Arab
Bagi masyarakat Arab jahiliyah, bersyair merupakan bakat alami yang sangat dihargai. Mereka berlomba-lomba menciptakan syair dan mendendangkannya di hadapan publik dan di tempat-tempat tertentu.
Tempat yang paling terkenal adalah Pasar Ukaz, Dzil Majinnah, dan Dzil Majaz. Bagi mereka, syair bukan sekadar rangkaian kata yang indah, tetapi juga bentuk kreativitas berbahasa yang sangat dibanggakan. Syair menempati posisi penting dan memiliki peran sentral dalam kehidupan masyarakat Arab jahiliyah.
Seorang penyair di era pra-Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Ia bukan hanya sekadar seniman, tetapi juga simbol kehormatan, harga diri, dan pembela terdepan bagi suku atau kabilahnya. Selain berperan sebagai pendorong semangat dalam peperangan, seorang penyair juga menjadi sumber kebahagiaan dan penghibur di saat duka melalui bait-bait puisinya.
Jarang yang tahu bahwa selain serangan fisik, Rasulullah dan Islam tidak jarang menjadi sasaran cerca dan hinaan dari orang-orang kafir Quraisy. Penyair-penyair jahiliah tak segan menggubah syair yang menjelekkan Islam dan Nabi.
Namun, di sisi lain, ada juga para sahabat yang setia membela Rasulullah saw. dengan syair-syair mereka. Mereka dikenal sebagai syu‘ara al-Rasul (para penyair Rasulullah).
Syair dalam Islam: Dari Pembelaan hingga Spiritualitas
Islam tidak menolak syair secara keseluruhan. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Rasulullah saw. mendukung dan memuji syair yang mengandung kebenaran serta nilai-nilai moral.
Salah satu sahabat yang terkenal sebagai penyair pembela Islam adalah Hassan bin Tsabit. Ia dikenal sebagai "Penyair Rasulullah" karena syair-syairnya yang membela Islam dan membalas hinaan terhadap Nabi. Rasulullah saw. bahkan pernah bersabda kepada Hassan bin Tsabit:
"Balaslah (hinaan mereka terhadap Islam) dengan syairmu, dan Jibril bersamamu." (HR. Bukhari).
Selain Hassan bin Tsabit, ada juga Ka'ab bin Zuhair yang menciptakan qasidah terkenal berjudul Banat Su‘ad, yang kemudian diterima dengan baik oleh Rasulullah saw. Syair ini bahkan menjadi bagian dari literatur klasik Islam yang terus dikenang hingga kini.
Dalam perkembangan Islam, syair tidak hanya digunakan sebagai alat perjuangan, tetapi juga sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan dan spiritualitas.
Salah satu contoh syair yang sangat masyhur dalam dunia Islam adalah Qasidah Burdah karya Imam Al-Bushiri. Syair ini merupakan pujian kepada Rasulullah SAW yang hingga kini banyak dibacakan di berbagai belahan dunia Islam, terutama dalam peringatan Maulid Nabi.
Syair dalam Islam terus berkembang, menjadi sarana dakwah, ekspresi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, serta refleksi kehidupan. Dari medan perang hingga majelis-majelis ilmu dan ibadah, syair tetap menjadi bagian dari perjalanan peradaban Islam.
Mengenal Syair "Tob Tobi Tob"
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, pendiri Baitul Hikmah dan memiliki obsesi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, para penyair kerap diuji kemampuannya. Sang khalifah memiliki daya ingat yang luar biasa, setiap kali mendengar sebuah puisi dibacakan, ia mampu menghafalnya dengan sempurna tanpa kesalahan.
Namun, keadaan berubah dengan kemunculan seorang penyair cerdik bernama Al-Ashma'i. Menyadari bahwa menghadapi kecerdasan dan daya ingat Khalifah tidak bisa dengan syair biasa, ia menciptakan puisi yang penuh dengan permainan kata, cepat, dan rumit. Puisi ini dikenal sebagai Saud Safir al-Bulbul atau Puisi Burung Bulbul.
Ketika puisi itu dibacakan, untuk pertama kalinya Khalifah Abu Ja’far al-Manshur gagal mengulanginya. Bahkan, dua budak cerdas yang biasanya diandalkan untuk menghafal syair pun tidak mampu membantunya. Sesuai janjinya, Khalifah Abu Ja’far al-Manshur memberikan hadiah emas kepada Al-Ashma'i. Emas tersebut begitu berat hingga membutuhkan empat orang untuk membawanya.
Lebih dari satu milenium kemudian, syair legendaris ini kembali populer di era digital. Para pengguna TikTok menjadikannya tantangan menghafal cepat, menguji kelincahan lidah serta ketajaman ingatan mereka.