Ahmad Nurefendi Fradana (Kedungademmu.id)

Oleh: 
Ahmad Nurefendi Fradana; Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Kedungademmu.idMudik selalu lebih dari hanya perjalanan fisik. Ia bukan sekadar arus kendaraan yang mengular dari kota-kota besar menuju sudut desa-desa, bukan cuma rombongan manusia yang menenteng koper dan kardus berisi oleh-oleh dan harapan untuk melunasi rindu. Mudik adalah ritus tahunan yang memiliki lapisan makna lebih dalam dari sekadar pulang kampung. Di antara debu jalanan dan pekik klakson yang sahut-menyahut, diam-diam lahir narasi spiritual.

Di Indonesia, mudik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idulfitri. Ia bukan hanya tradisi, melainkan sebuah fenomena sosial dan kultural yang menghubungkan manusia dengan akar spiritualitasnya. Setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa, hari raya menjadi momentum untuk kembali, bukan hanya ke rumah secara fisik—tetapi juga ke dalam ruang batin yang lebih jauh dan dalam. Idulfitri adalah hari kemenangan, dan kemenangan sejati bagi banyak orang, acap dimaknai salah satunya bertemu kembali dengan keluarga, memeluk orang tua, serta duduk bersama dalam kehangatan yang tak bisa digantikan oleh apa pun.

Ada yang menyebut mudik sebagai ziarah modern. Sebuah kepulangan, bukan hanya menuju rumah-rumah yang dulu menemani proses manusia menjadi tumbuh besar dan dewasa. Tetapi juga ke akar keberadaan. Di setiap tapak perjalanan, ada semacam renungan tak terkatakan: siapa kita, dari mana kita berasal, dan akan ke mana akhirnya kita akan kembali. Jalanan panjang menuju kampung halaman menjadi metafora perjalanan manusia yang lebih besar—perjalanan menuju keabadian.

Setiap kendaraan yang bergerak menyusuri aspal adalah simbol manusia yang mencari jalan pulang. Dan seperti semua perjalanan, mudik tidak pernah mudah. Macet di sana-sini adalah musibah tahunan yang harus diterima dengan penuh keikhlasan—semacam latihan kecil menempa kesabaran. Panas yang membakar, antrean rest area yang melilit, atau anak-anak yang rewel di bangku belakang—semua itu menjadi ujian kecil yang entah bagaimana mengajarkan kita tentang makna sebuah ketabahan.

Namun, kendati perjalanan ini melelahkan, ada magnet tak kasatmata yang membuat manusia rela menempuhnya. Ia adalah kerinduan, sesuatu yang tak bisa diukur dengan kilometer atau dihitung dengan jumlah bensin yang terbakar. Ada sesuatu di kampung halaman yang selalu memanggil kita untuk senantiasa pulang, entah itu suara ibu yang sudah renta, wangi tanah setelah hujan, atau sekadar kenangan masa kecil yang bersembunyi di sudut-sudut rumah tua.

Di kampung halaman, waktu berjalan lebih lambat. Tidak ada ritme tergesa-gesa seperti di kota. Di sana, azan subuh terdengar lebih syahdu, angin sore terasa lebih damai, dan obrolan di serambi rumah mengalir tanpa tekanan agenda harian. Pulang kampung bukan hanya tentang bertemu keluarga, tetapi juga tentang menemukan kembali potongan diri yang barangkali tercecer di jalanan urban.

Mudik membawa kita pada kesadaran bahwa segala sesuatu bersifat sementara. Rumah-rumah yang dulu megah mungkin kini mulai rapuh, para saudara dan tetangga satu per satu telah tiada, dan kita sendiri mendapati bahwa usia telah mengikis banyak hal. Pulang kampung adalah konfrontasi diam-diam dengan kefanaan. Bahwa waktu berjalan tanpa belas kasihan—dan kita hanya peziarah sementara di dunia ini.

Ada sesuatu yang magis dalam perjalanan pulang ini. Seperti seorang musafir yang bertemu oase, perasaan itu menyeruak ketika bus yang kita tumpangi memasuki jalan desa yang sudah akrab sejak kecil, atau saat motor tua berdebu kita arahkan melewati sawah dan kebun yang dulu sering jadi tempat bermain. Sejenak, kita merasa waktu memutar mundur—jauh ke belakang sana. Tetapi kenyataan segera mengagetkan, karena kita tidak lagi berlari kecil di pematang, melainkan hanya melewati dengan sepasang mata yang penuh nostalgia.

Mungkin, inilah alasan mengapa mudik tak pernah kehilangan daya tariknya. Ia menawarkan kesempatan bagi kita untuk mengenang, mengingat kembali siapa kita sebelum semua kesibukan ini mengubah kita menjadi manusia kota yang dingin dan sibuk mengejar angka-angka. Dalam pertemuan dengan orang-orang lama, kita bertemu dengan versi diri kita yang lebih sederhana, yang pernah bermimpi tanpa batas sebelum hidup perlahan mengajari kita kompromi.

Tetapi, tidak semua yang pulang menemukan kehangatan yang sama. Bagi sebagian orang, mudik bisa jadi adalah perjalanan menuju sesuatu yang telah berubah. Rumah yang dulu hangat kini terasa asing, orang tua yang dulu menyambut dengan senyum kini telah tiada, dan kampung halaman yang dulu begitu hidup kini terasa kota mati. Ada yang pulang untuk menemukan bahwa ia tak lagi punya tempat di mana pun, bahwa bahkan kampung halaman pun telah bergerak maju tanpa menunggu dirinya. Mudik, dalam hal ini, menjadi pertemuan dengan kehilangan.

Namun, bukankah itu juga bagian dari hidup? Bahwa perjalanan kita selalu bergerak maju, dan tempat-tempat yang kita tinggalkan tak bisa kita paksa untuk tetap sama. Kita datang dengan harapan untuk menemukan kenyamanan yang dulu, tetapi kita sering lupa bahwa waktu berjalan dan semua orang pun berubah. Mungkin, ini juga bagian dari pelajaran spiritual yang ditawarkan oleh mudik: bahwa kita tidak bisa menggenggam sesuatu selamanya.

Dalam perjalanan mudik, ada banyak yang diam-diam meneteskan air mata di balik kaca mobil atau di sudut bangku bus. Bukan karena jalanan yang macet atau kelelahan yang menggulung, tapi karena mereka sadar bahwa di balik perjalanan ini ada pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tak selalu punya jawaban. Setiap kepulangan adalah pengingat bahwa kelak akan ada mudik terakhir, perjalanan pulang yang tidak akan kembali lagi.

Namun, di balik kesadaran itu, ada kebahagiaan yang menghangatkan. Pelukan ibu di depan pintu rumah, suara bapak yang memanggil di halaman, dan hidangan sederhana yang tiba-tiba terasa lebih nikmat dari segala menu mewah di kota. Semua itu adalah berkah yang sering kali baru kita sadari nilainya setelah kita jauh. Mudik adalah pengingat bahwa hidup adalah perjalanan pulang yang lebih besar. Setiap lelah yang kita lalui, setiap jalan berliku yang kita tempuh, semuanya adalah latihan untuk pulang ke rumah sejati: kembali kepada-Nya.

Bukankah setiap perjalanan sejatinya adalah perantauan menuju keabadian?