![]() |
Ilustrasi halalbihalal Idulfitri (www.freepik.com) |
Kedungademmu.id—Tradisi halalbihalal telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idulfitri di Indonesia. Setelah menunaikan salat Idulfitri, umat Muslim di Indonesia merayakan kegembiraan dengan bersilaturahmi, yang umum dikenal dengan istilah halalbihalal atau syawalan.
Kendati tidak termasuk dalam ibadah khusus pada awal bulan Syawal, agenda silaturahmi pasca-Idulfitri semacam keharusan, baik secara individu dengan mengunjungi sanak keluarga dan tetangga, maupun secara berkelompok melalui pengajian atau acara makan bersama.
Dikutip dari Muhammadiyah.or.id, pemerhati sejarah Muhammadiyah yang juga anggota Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi, merujuk pada Ahmad Baso yang menyebutkan bahwa tradisi keagamaan silaturahmi yang dikemas secara formal telah ada sejak tahun 1700-an di daerah Cirebon.
Seiring berjalannya waktu, tradisi ini terus berlangsung dan mengalami pemodernan dalam tata cara pelaksanaannya. Misalnya, ditemukan rubrik khusus dalam Soeara Moehammadijah No. 5 Tahun 1924 yang diperuntukkan bagi pembaca yang ingin menyampaikan ucapan permohonan maaf sekaligus menyambung silaturahmi antaranggota melalui media massa. Dalam rubrik tersebut, digunakan istilah "Alal Bahalal".
Ghifari menekankan bahwa Suara Muhammadiyah memodernisasi cara umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, dalam bersilaturahmi. "Kita sebenarnya memulai tapi pada aspek sisi kemajuan dan modernitas, yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah adalah seiring dengan berkembangnya literasi melalui pers Islam, yakni Suara Muhammadiyah sebagai pers tertua," jelasnya.
Tahun 1924 menjadi tonggak sejarah yang penting, karena muncul cara baru bagi seorang Muslim dalam menyampaikan salam, permohonan maaf, dan menjalin silaturahmi melalui platform media massa modern seperti majalah. Dalam konteks awal abad ke-20, majalah merupakan media massa yang sangat modern di tengah kolonialisme.
"Kontribusi besar Muhammadiyah pada tradisi 'Alal Bihalal' disajikan dalam platform majalah, yang di situ menunjukkan modernitas dan kemajuan Muhammadiyah. Bahwa warga Muhammadiyah itu adalah kelompok yang terpelajar–intelektual, karena dekat dengan literasi dengan buku dan ilmu pengetahuan," kata Ghifari.
Dalam penelitiannya, Ghifari menyebut tradisi halalbihalal merupakan tradisi asli dari Nusantara, khususnya dari Jawa. Sebab, sejauh ini dia belum menemukan literatur yang menunjukkan tradisi ini di luar Jawa. Namun, saat ini tradisi halal bihalal telah diserap dan dilakukan tidak hanya di Jawa, tapi hampir di seluruh Indonesia.
Selain itu, modernisasi tradisi halalbihalal juga ditunjukkan dengan adanya Brosur Lebaran dari Muhammadiyah Kotagede. Hadirnya brosur itu menurut Ghifari juga mewadahi model silaturahmi secara berkemajuan. Selain itu, hadirnya Brosur Lebaran juga menunjukkan tingginya literasi warga Muhammadiyah.
Pada tahun 1930-an, beberapa instansi di Indonesia telah banyak yang melaksanakan tradisi halalbihalal. Di koran-koran berbahasa Belanda telah memuat beberapa kegiatan halalbihalal yang telah dilakukan sebelum 1948. Misalnya, surat kabar "Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch Indië" tahun 1939 mengabarkan bahwa perkumpulan perempuan Muhammadiyah, Aisyiyah, menggelar rapat lebaran di Gedung Sobokarti, di Kota Semarang.
Dalam surat kabar itu bahkan disebutkan bahwa pertemuan halalbihalal yang dialihbahasakan ke bahasa Belanda sebagai "Lebaraanbijeenkomst" akan diisi oleh empat pembicara perempuan yang menyampaikan tentang sejarah dan keutamaan Nabi Muhammad saw.
Selain dilakukan oleh Aisyiyah, di beberapa surat kabar berbahasa Belanda pada 1930-an juga disebutkan telah ada beberapa instansi pemerintahan, termasuk juga kepolisian, yang menyelenggarakan tradisi halal bihalal. "Artinya itu sudah menjadi budaya organisasi yang saya lihat," tutur Ghifari yang juga Dosen Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
"Penggunaan istilah Lebaraanbijeenkomst, meskipun di beberapa literatur sudah menyebut halalbihalal ada di koran Belanda sudah ada yang menyebut itu. Karena mungkin lebih populer di akhir 1930-an, tapi di awal 1930-an masih menggunakan Lebaraanbijeenkomst," ungkapnya.
Ghifari memandang halalbihalal sebagai tradisi panjang yang kemudian dihadirkan dalam berbagai bentuk dan ekspresi umat Islam di Indonesia pasca-Idulfitri. Majalah Suara Muhammadiyah pada 1924 turut andil memodernisasi tradisi halalbihalal melalui pemanfaatan platform media massa yang sangat modern saat itu–majalah.
Pelaksanaan tradisi halalbihalal tidak selalu berjalan mulus tanpa hambatan. Seperti yang terjadi pada 1933 di surat kabar berbahasa Belanda "Het Nieuws Den Dag Voor Nederlandsch Indië" yang dibubarkan oleh polisi karena dianggap berbau politik yang diduga membahas isu Indonesia merdeka, penjajahan, dan sebagainya, serta kebetulan acara itu juga dihadiri anak-anak.
Ghifari menyebut, sikap tegas yang dilakukan oleh kepolisian mengikuti saran dari Snouck Hurgronje. Penasehat Belanda itu menyebutkan, jika umat Islam beribadah dengan tulus atau mempraktikkan agamanya tanpa ada unsur politik tidak boleh diusik, akan tetapi jika umat Islam Indonesia sudah berpolitik itu harus ditindak tegas atau ditumpas.