![]() |
Ilustrasi (Kedungademmu.id) |
Oleh: Ahmad Nurefendi Fradana; Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Kedungademmu.id—Suara takbir menggema. Lampu hias menggantung di lorong-lorong kampung. Namun yang bersahutan di ruang tamu adalah dering notifikasi gawai berisi ucapan seragam: Mohon maaf lahir batin—kadang tak jarang berbentuk animasi emoji. Idulfitri—saat di mana langit seharusnya basah oleh air mata maaf, bumi bergetar oleh langkah kaki yang pulang—kini tereduksi menjadi file berukuran 5 MB: video singkat keluarga berkumpul, dikirim ke grup WhatsApp yang beranggotakan 157 orang, separuhnya tak dikenal.
Kita tengah hidup dalam ironi: 54% populasi bumi aktif di media sosial, tetapi studi Journal of Social and Personal Relationships (2023) mengungkap 60% interaksi digital tidak menciptakan kedekatan emosional. Di balik ribuan notifikasi WhatsApp, obrolan tentang kesehatan orang tua tenggelam oleh banjir meme politik dan tagar #FamilyTime. "Teknologi telah menggantikan keintiman dengan efisiensi," tulis Sherry Turkle dalam Alone Together.
Kita seperti penari yang menggenggam ratusan tangan virtual, sambil diam-diam merindukan pelukan yang tidak bisa disuguhkan oleh media sosial. Di sinilah paradoks terpampang: Kita merayakan kemenangan setelah sebulan melatih keheningan, tapi justru tenggelam dalam hiruk-pikuk broadcast message. Meminjam kata Ulil Abshar-Abdalla, "Kita menyembah di masjid yang sunyi, tapi beribadah di kuil notifikasi." Idulfitri, yang seharusnya menjadi puncak silaturahmi, menjelma menjadi ritual pengiriman stiker hati-hati yang dikurasi algoritma.
Teknologi, kritik Turkle, kendati menjanjikan koneksi tanpa batas, justru melahirkan kesepian yang terstruktur. Data App Annie (2023) mengungkap: Rata-rata orang menghabiskan 53 menit sehari mengintip kehidupan orang lain melalui stories—lebih lama daripada waktu berbincang dengan anak sendiri. Kita terjebak dalam teater kabuki maya: Bertepuk tangan untuk pertunjukan kebahagiaan palsu, sementara keheningan di balik layar kian menggema.
Mudik, tradisi pulang kampung yang dulu melahirkan epik-epik manusiawi—kisah sopir bis yang nekat menerobos banjir, pengendara motor yang menggendong anak di punggung—kini mulai tergantikan oleh virtual homecoming. Ada aplikasi mudik digital menawarkan paket VR (virtual reality) untuk "merasakan suasana kampung" via headset, lengkap dengan simulasi aroma sate dan suara jangkrik. Tapi itu semua tidak mungkin mampu menggantikan suasana cucu-cucu berebut pangkuan kakek-nenek.
Grup keluarga WhatsApp di hari Lebaran ibarat pasar malam yang gegap gempita: Deretan stiker bermotif ketupat, GIF tangan bersalaman, dan voice note ucapan maaf yang direkam dengan buru-buru. Kita telah mengubah maaf menjadi komoditas. Padahal, halalbihalal adalah proses bertatap—melihat mata yang mungkin pernah tersakiti, merasakan getar suara yang jujur dan dalam.
Kita tengah berada di tengah-tengah gempuran metaverse. Data Digital Ethnography Lab (2023) mengungkap fakta pahit: 89% pesan maaf di grup bersifat copy-paste; hanya 12% yang disertai telepon/langsung bertemu; dan rata-rata waktu membaca pesan Lebaran: 1,3 detik. Ironi, kesempurnaan pesan digital justru menghapus ketidaksempurnaan manusia yang sebenarnya suci.
Di jantung paradoks ini, ada pertanyaan filosofis: Apakah teknologi menghubungkan kita atau justru mengasingkan? "Keterhubungan konstan adalah ilusi keterpisahan," kata Byung-Chul Han. Restoran di berbagai negara mulai terapkan "zona bebas ponsel"—diskon 15% untuk yang menitipkan gawai. Di Jepang, kafe analog hanya menyediakan buku fisik dan papan catur, sementara di Eropa, gerakan Right to Disconnect mendorong regulasi larangan e-mail kerja setelah jam kantor. Ini bukan sekadar pemberontakan terhadap layar, melainkan upaya merebut kembali ruang untuk keheningan yang produktif.
Pada akhirnya, solusinya bukan pada penghapusan teknologi, tapi lebih pada kesadaran bahwa layar hanyalah jembatan, bukan tujuan. Kirimlah kue lebaran via ojol, tapi minta sang kurir masuk minum teh dulu. Pilih video call untuk nenek di kampung, tapi sesekali datanglah ke sana, untuk mencium tangannya. Sebab yang kita rindukan sesungguhnya adalah lutut pegal duduk lesehan, tawa yang menggema tanpa filter noise cancellation, dan keheningan yang tak perlu diisi oleh bunyi ketikan pesan—karena kadang, diam pun bisa menjadi bentuk silaturahmi paling jujur.