Menilik hitungan tahun tentu sudah 117 tahun silam, rasa nasionalisme ini diteriakkan oleh pemuda. Para pemuda yakin hanya dengan mencerdaskan kehidupan bangsa yang akan mampu menggugah kesadaran satu bangsa dan satu tanah air, maka siapapun yang mencoba menguasai negeri tak akan lama akan hengkang, dan kemerdekaan pun dapat diraih sempurna. Kemerdekaan yang diraih tanpa campur tangan kolonial, tampa berunding dengan kolonial, seperti yang diinginkan Tan Malaka dalam "madilog"-nya.
Bisa jadi apa yang dikatakan Tan Malaka benar, kemerdekaan yang dipaksa akan berdampak lamban dalam menata kehidupan bangsa ini.
Jika dihitung bilangan tahun, maka tahun 2025 ini bangsa Indonesia telah merdeka 80 tahun. Sudahkah kemerdekaan ini benar-benar sempurna. Sudahkah seluruh warga telah merasakan pendidikan yang mencerdaskan. Jawabnya masih jauh panggang dari api. Pendidikan masih menjadi barang mahal yang tak mampu dijangkau oleh seluruh rakyat Indonesia.
Usia kesempatan hidup masih rendah, kemiskinan makin meninggi, hutang negara makin menggunung, dan korupsi merajalela hampir di semua tingkatan. Politik menjadi panglima bagi seluruh kebijakan yang sarat "perdagangan" dengan memanfaatkan kebodohan dan kemiskinan rakyat. Sehingga anggapan memelihara kebodohan dan kemiskinan rakyat adalah unsur penting bagi kekuasaan politik biaya tinggi.
Kebangkitan bangsa yang telah dirintis para pemuda 117 tahun silam kian tersandera, dan masih sebatas simbol-simbol dan peringatan-peringatan, seperti tak mampu membangunkan para elit negeri untuk kembali kepada cita-cita berdirinya negara. Sandiwara demi sandiwara telah berganti dari episode ke episode hingga belum tampak kapan berakhir dengan happy ending.
Haruskah teriakan kebangkitan kita bangkitkan kembali sekeras-kerasnya atau berhenti bersuara sambil menonton sandiwara-sandiwara berakhir. Tentu semua tergantung seluruh rakyat negeri yang mendiami tanah tercinta tempat kita lahir, berpijak, dan menghembuskan udara, lalu mati bersama dengan linangan air mata yang menggenang di negeri deras tak terbendung.
Lalu dimana suara-suara yang berteriak kemajuan, setelah sedikit "ghanimah" telah dinikmati. Tetap kritis atau menjadi bagian dari meja makan dengan hidangan yang sama. Wallahu a'lam bisshawab.
Kopi pagi Ledok Kulon, 21 Mei 2025; sehari pascakebangkitan