Ilustrasi (kedungademmu.id)

Kedungademmu.id
Sejak awal kelahirannya pada 1912, Persyarikatan Muhammadiyah membangun fondasi kepemimpinan yang jauh dari jejak otoritarianisme dan kultus individu, melainkan menekankan semangat kebersamaan dan kesetaraan di antara sesama pimpinan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini kemudian masyhur disebut sebagai kolektif-kolegial.

Prinsip kolektif-kolegial semakin diperkuat oleh kebutuhan untuk menanggung beban pimpinan secara bersama-sama, di mana tugas dan tanggung jawab tidak dibebankan kepada satu orang tertentu saja—misalnya ketua, tetapi dibagi di antara anggota pimpinan harian serta majelis dan embaga yang memiliki latar belakang keahlian beragam—mulai dari fikih, pendidikan, kesehatan, hingga manajemen dan ekonomi.

Dalam praktik sehari-hari, semangat kolektif tecermin dalam berbagai mekanisme musyawarah mufakat yang digelar secara berjenjang, mulai dari Muktamar sebagai forum tertinggi hingga Musyawarah Ranting di tingkat akar rumput. Setiap forum itu bukan sekadar ritual, melainkan sarana konsultasi yang diikat oleh komitmen untuk mencapai keputusan bersama, sehingga setiap suara—apakah dari Pimpinan Pusat atau Ranting—memiliki bobot yang sama dalam menentukan arah kebijakan organisasi.

Kolegialitas di Muhammadiyah hadir sebagai respons teologis atas ajaran syura dalam Al‑Qur’an, khususnya Surat Asy‑Syura: 38, "Orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka." dan Ali Imran: 159, "Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu.".

Dari sinilah muncul budaya saling menghargai dan saling mengoreksi di antara para pimpinan yang ada dalam Muhammadiyah, di mana perbedaan pendapat tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai pijakan untuk memurnikan dan memperkaya kebijakan organisasi.

Secara historis, KH. Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh awal Muhammadiyah menolak keras praktik dominasi individual yang bisa mengekang ijtihad dan inovasi, memilih struktur birokrasi yang dibingkai oleh prinsip-prinsip rasional dan transparan. Model ini selaras dengan pandangan sosiolog seperti Max Weber tentang organisasi modern, di mana otoritas legal-rasional dan pembagian kerja formal menjadi kunci stabilitas dan efektivitas lembaga.

Kepemimpinan kolektif-kolegial juga berimplikasi pada akuntabilitas terbuka; setiap pimpinan terlibat langsung dalam perumusan hingga evaluasi keputusan, sehingga potensi penyalahgunaan wewenang dapat diminimalisasi. Dengan demikian, Muhammadiyah tidak hanya menjaga moralitas internal, tetapi juga mempertahankan kredibilitasnya sebagai organisasi yang modern—atau yang acap disebut berkemajuan.

Ketika menghadapi tantangan kontemporer—seperti perluasan layanan pendidikan, peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, dan upaya keberlanjutan lingkungan—mekanisme kolektif kolegial menjadi modal sosial yang kokoh untuk mobilisasi sumber daya dan kolaborasi lintas sektor.

Forum-forum musyawarah yang partisipatif memberi ruang bagi suara akar rumput hingga akademisi, sehingga kebijakan Muhammadiyah selalu responsif terhadap dinamika sosial dan kebutuhan lokal.

Dalam atmosfer demikian, proses “mufakat” tidak sekadar jargon, melainkan buah dari kultur diskusi yang menjunjung tinggi adab ilmiah: masing‑masing pihak membawa data lapangan, merujuk literatur teologis, dan menimbang konsekuensi praktisnya.

Hasilnya, keputusan yang diambil menjadi lebih akurat, legal, dan implementatif, karena telah diuji oleh berbagai perspektif dan keahlian yang ada di Persyarikatan.

Keberhasilan organisasi ini dalam menerjemahkan nilai-nilai syura dan tawadhu’ ke dalam praktik manajerial modern menunjukkan bahwa etika kepemimpinan Islami dan prinsip-prinsip administratif mutakhir dapat berjalan selaras, membentuk organisasi yang kuat secara moral dan efektif secara operasional.