Kedungademmu.id—Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Kota Malang menggelar dialog pendidikan bertema “Merayakan Kebhinekaan, Menguatkan Pendidikan: Potensi, Tantangan, dan Proyeksi”, Senin (2/6/2025). Bertempat di Aula Dinas Pendidikan Kota Malang, Lowokwaru, acara ini menjadi momentum reflektif dalam memperingati Hari Lahir Pancasila dan Hari Pendidikan Nasional.
Ketua PDPM Kota Malang, Ahmad Subhan, mengatakan bahwa kegiatan ini dirancang sebagai ruang bertukar gagasan demi memperkuat nilai-nilai kebhinekaan dalam sistem pendidikan nasional.
“Peringatan Hari Lahir Pancasila dan Hardiknas menjadi waktu yang tepat untuk mengevaluasi arah pendidikan kita, terutama dalam konteks keberagaman,” ujarnya.
Acara yang dimulai pukul 09.00 WIB ini dihadiri 200 peserta, mulai dari pendidik, aktivis organisasi otonom Muhammadiyah, hingga perwakilan sekolah negeri dan swasta. Hadir pula Wakil Wali Kota Malang, Ali Muthohirin, yang didapuk sebagai keynote speaker.
Dalam sambutannya, Ali menyoroti pentingnya peran kebijakan dalam membentuk karakter peserta didik. Ia mencontohkan bagaimana kebiasaan sederhana seperti Salat Tahajud dapat membentuk akhlak yang baik pada anak-anak.
“Guru digaji kecil untuk memperbaiki karakter anak-anak, sementara artis dibayar mahal tapi sering justru merusaknya,” sindirnya. Pernyataan itu disambut tepuk tangan hadirin.
Sementara itu, Teguh Wijaya Mulya, akademisi dari Universitas Jayabaya, memaparkan tantangan guru dalam menghadapi beban kerja yang berat sehingga kerap kali sulit untuk meningkatkan kualitas diri.
“Pendidikan tak bisa dilepaskan dari konteks ideologis bangsa. Pancasila bukan sekadar simbol, tapi nilai hidup yang harus terus kita jaga dalam ruang kelas,” ujarnya.
Teguh juga mengulas teori kontak antar kelompok sebagai pendekatan mengurangi prasangka dalam masyarakat majemuk. Menurutnya, merawat kebhinekaan bisa dimulai dari lingkungan kampus hingga sekolah.
“Di kampus kami, mahasiswa lintas agama tidak hanya diajarkan agamanya masing-masing, tapi juga berdialog satu sama lain untuk membangun saling pengertian tanpa rasa curiga,” paparnya.
Adapun Triyo Supriyatno, dosen UIN Malang, menekankan pentingnya pendidikan multikultural. Menurutnya, ruang kelas seharusnya menjadi miniatur Indonesia, tempat nilai-nilai kebhinekaan hidup dan tumbuh.
“Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan. Pendidikan yang mengedepankan keberagaman adalah modal sosial untuk menyiapkan generasi digital yang tangguh, toleran, dan berjiwa kebangsaan,” tuturnya.
Dialog ini ditutup dengan semangat bersama untuk terus mendorong pendidikan sebagai alat merawat kebhinekaan demi Indonesia yang lebih kuat dan bersatu.