Oleh: T.H. Hari Sucahyo
Lupa Bukan Lawan Belajar
Sejak kecil, kita ditempa untuk menjadi mesin hafal. Buku teks penuh coretan stabilo, tugas hafalan, dan ujian pilihan ganda mengajari kita satu hal: nilai tinggi berarti banyak yang diingat. Kita pun mulai mengukur kecerdasan dari daya simpan otak, seolah otak adalah gudang data. Padahal otak bukan mesin penyimpan, melainkan sistem cerdas yang terus berproses, menyesuaikan, menyaring, dan membentuk makna.
Lupa sebenarnya bukan kegagalan sistem, tetapi strategi biologis. Otak melupakan untuk memberi ruang pada informasi yang lebih penting. Ia membiarkan yang tidak relevan tersingkir, agar yang bermakna bisa bertahan dan diperkuat. Justru dalam proses melupakan lalu mengingat kembali, otak belajar lebih dalam.
Melupakan untuk Mengingat
Bayangkan Anda belajar bahasa asing. Anda hafal daftar kata kerja, namun seminggu kemudian lupa semua saat ingin berbicara. Anda kesal, merasa bodoh. Tapi kenyataannya, itu adalah proses alami. Saat kita lupa, otak sedang menyusun ulang koneksi antar neuron. Dan ketika kita mencoba mengingat kembali, koneksi itu diperkuat. Itulah yang disebut retrieval practice, sebuah strategi belajar yang terbukti lebih efektif daripada sekadar membaca ulang catatan.
Belajar bukan sekadar menyimpan informasi, tetapi membangun jalan kembali menuju informasi tersebut. Setiap kali kita lupa dan mencoba mengingat, jalur itu menjadi lebih kuat. Sama seperti menapaki jalan setapak: semakin sering dilalui, semakin mudah ditemukan.
Seni Melupa: Belajar dengan Hati dan Makna
Lupa juga punya fungsi emosional. Coba bayangkan jika kita mengingat setiap rasa malu, kecewa, atau luka secara terus-menerus. Bukankah hidup akan terasa berat? Lupa hadir sebagai pelindung, membiarkan kita sembuh dan memilih mana yang patut diingat. Dalam belajar pun demikian. Lupa memberi ruang agar informasi yang relevan dan bermakna bisa menempati tempat khusus dalam ingatan jangka panjang.
Tapi sayangnya, kita hidup dalam sistem yang belum menghargai proses ini. Pendidikan masih menuntut hafalan cepat, bukan pemahaman dalam. Kita belajar untuk ujian, bukan untuk kehidupan. Kita takut lupa, padahal justru keberanian untuk lupa adalah langkah awal menuju pemahaman sejati.
Berani Lupa, Berani Tumbuh
Kesalahan terbesar dalam belajar adalah menyamakan lupa dengan bodoh. Padahal, mereka yang berani lupa dan terus mencoba adalah mereka yang benar-benar sedang belajar. Belajar adalah seni jatuh dan bangkit, bukan lari sempurna dari awal.
Maka, ubahlah cara pandang. Ketika lupa datang, jangan panik. Terimalah ia sebagai jeda, bukan kegagalan. Gunakan momen itu untuk mengingat kembali, bukan dengan marah, tetapi dengan semangat. Ajukan pertanyaan pada diri sendiri, bukan hanya membaca. Beri waktu pada otak untuk membentuk ulang makna, bukan menjejalkan materi secara paksa.
Lupa Bukan Akhir, Tapi Awal dari Pemahaman
Di akhir hari, kita belajar bukan untuk menjadi kamus berjalan. Kita belajar untuk memahami, merasakan, dan menerapkan. Dan semua itu tidak datang dari sekali hafal, tapi dari proses jatuh, lupa, mencoba kembali, dan memahami lebih dalam.
Lupa bukan lawan belajar. Ia bagian darinya. Ia bukan tanda kebodohan, melainkan pintu menuju ingatan yang lebih bermakna. Maka, lain kali Anda lupa satu istilah, satu pelajaran, atau satu rumus—jangan mencela diri sendiri. Tersenyumlah. Anda sedang dalam perjalanan belajar yang sesungguhnya.