(www.unplash.com)

Oleh: Yanzhuril Ghulam Miraza

Kedungademmu.idSalah satu bentuk kelalaian yang halus namun berbahaya adalah tertipu oleh nasab dan kedudukan. Kadang tanpa sadar, kita merasa lebih tinggi, lebih aman, atau lebih dekat kepada keselamatan hanya karena berasal dari keluarga yang dikenal mulia, terpandang, atau religius.

Syaikh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi rahimahullah mengingatkan dalam kitabnya:

 "Barang siapa yang menyangka bahwa ia akan selamat karena ketakwaan ayahnya, maka ia seperti orang yang menyangka akan kenyang karena makanan yang dimakan oleh ayahnya, atau mengira akan hilang dahaganya karena minuman yang diminum oleh ayahnya, atau menjadi seorang alim karena ilmu ayahnya, atau sampai ke Ka'bah karena perjalanan ayahnya."

Ungkapan ini sangat dalam. Saya pribadi merasa tertampar ketika membacanya. Betapa banyak dari kita yang bangga dengan silsilah keluarga, namun lalai memperbaiki diri sendiri. Kita beranggapan bahwa darah mulia cukup untuk membuka pintu surga, padahal tanpa amal, semuanya akan sia-sia.

Lihatlah kisah Nabi Nuh ‘alaihis salam. Ia seorang nabi dan ayah yang saleh. Ia berusaha menyelamatkan anaknya dari banjir besar, namun sang anak menolak dan memilih gunung sebagai tempat perlindungan. Akhirnya ia pun binasa bersama orang-orang yang durhaka.

Nuh berkata:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku." (QS. Hud: 45)

Namun Allah menjawab:

 "Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu. Sesungguhnya itu adalah perbuatan yang tidak baik." (QS. Hud: 46)

Peristiwa ini menjadi pelajaran besar. Garis keturunan tidak menjamin keselamatan jika tidak disertai iman dan amal saleh. Dalam Mauizhah Al-Mu’minin min Ihya’ ‘Ulumuddin, disebutkan bahwa termasuk golongan orang yang tertipu (ghurur) adalah mereka yang merasa cukup dengan kemuliaan leluhur, namun malas beramal.

Rasulullah Saw bersabda:

 "Barang siapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak akan bisa mempercepatnya."
(HR. Muslim no. 2699)

Dalam kehidupan kita, banyak yang merasa bangga karena "anak kiai", "cucu ustaz", "keturunan habib", "darah biru", atau "orang terpandang". Namun jika ibadahnya jauh, akhlaknya rusak, dan amalnya kosong, kemuliaan itu tidak akan menolong.

Allah Swtbberfirman:

"Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan."
(QS. Al-An‘am: 132; Al-Ahqaf: 19)

Ayat ini sangat jelas: amallah yang menjadi penentu kemuliaan dan derajat kita di sisi Allah, bukan gelar, bukan nama besar, bukan pula keturunan.

Saya menulis ini, pertama-tama sebagai nasihat untuk diri saya sendiri, yang sering kali tergoda merasa aman karena latar belakang keluarga. Padahal, keselamatan hanya akan datang dengan rahmat Allah dan amal yang ikhlas.

Jangan tertipu oleh nasab, jangan terlena oleh kedudukan. Yang akan menyelamatkan kita hanyalah amal dan takwa. Mari kita berlomba dalam amal saleh sebelum ajal menjemput.

Allahu a‘lam.