(www.unplash.com)


Oleh: T.H Hari Sucahyo

Kedungademmu.idKepercayaan, dalam bayangan umum, sering dianggap sebagai salah satu pilar tertinggi dalam hubungan manusia. Ia dipandang mulia, menjadi dasar persahabatan, cinta, kerja sama, bahkan peradaban. Sejak kecil kita diajarkan bahwa mempercayai orang lain adalah kebajikan, dan menjadi pribadi yang dapat dipercaya merupakan kehormatan.

Namun, di balik kilau idealismenya, kepercayaan menyimpan paradoks yang jarang disadari: ia dapat menjadi pedang bermata dua—alat pembebasan sekaligus jebakan mematikan. Ada titik ketika kepercayaan justru menjerumuskan, bukan membebaskan; merusak, bukan membangun. Di wilayah inilah muncul ambiguitas moral: ruang abu-abu tempat kebaikan dan keburukan berkelindan tanpa garis batas yang jelas.

Filsafat mengajarkan bahwa setiap konsep yang kita anggap absolut perlu diuji. Kepercayaan, jika dilihat dari kacamata moral, tidak selalu identik dengan kebenaran. Mengapa demikian? Karena kepercayaan bukanlah fakta; ia hanyalah keyakinan terhadap fakta yang kita anggap benar. Keyakinan, sekuat apa pun, tidak menjamin kesesuaiannya dengan realitas. Kita bisa saja mempercayai seseorang yang kemudian mengkhianati, atau meragukan seseorang yang ternyata tulus membela.

Secara logis, kepercayaan lebih dekat pada taruhan daripada kepastian. Setiap kali kita percaya, kita sesungguhnya sedang bertaruh pada ketidakpastian—dan taruhannya tak jarang berharga mahal. Ambiguitas moral kepercayaan muncul saat ia disalurkan tanpa perhitungan atau dijadikan alat manipulasi. Sejarah penuh kisah penguasa yang mempertahankan kekuasaan melalui kepercayaan buta rakyat.

Dari raja yang mengklaim hak ilahi, hingga diktator modern yang membangun citra “bapak bangsa”, semua memanfaatkan naluri alami manusia untuk mempercayai figur otoritas. Kepercayaan dalam konteks ini bukan lagi kebajikan, melainkan strategi penundukan. Ironisnya, korban manipulasi semacam ini kerap membela pelakunya karena menganggap kesetiaan sebagai bentuk kebaikan. Kepercayaan pun berubah menjadi belenggu tak kasatmata yang dipelihara dengan rasa bangga.

Friedrich Nietzsche pernah menyinggung bahwa manusia sering terlalu malas untuk memikirkan ulang kepercayaannya. Sekali percaya, kita cenderung mempertahankannya, meski bukti berkata sebaliknya. Rasa takut terhadap ketidakpastian membuat kita memilih ilusi yang akrab dibanding kenyataan yang mengusik. Kepercayaan, dalam bentuk ini, menjadi pelarian dari rasa tidak aman—bukan lagi tindakan sadar, melainkan kebiasaan emosional yang membunuh kapasitas kritis.

Dari perspektif etika, timbul pertanyaan: apakah salah untuk percaya? Jawaban sederhana adalah tidak. Namun, jawaban filosofis mengharuskan kita mempertimbangkan konteks, tujuan, dan konsekuensinya. Percaya pada orang yang salah tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga orang lain. Seorang dokter yang mempercayai penelitian manipulatif dapat membahayakan nyawa pasien. Warga yang menelan propaganda mentah-mentah tanpa verifikasi dapat menguatkan sistem yang menindas. Kepercayaan yang salah arah bukan sekadar kekeliruan personal, melainkan dosa sosial.

Kepercayaan juga bisa menjadi beban bagi penerimanya. Tidak semua orang siap menanggungnya. Ketika seseorang mempercayakan rahasia atau hidupnya kepada orang lain, ia menyerahkan sebagian kebebasan dan tanggung jawabnya. Penerima kepercayaan itu, suka atau tidak, memegang kuasa atas bagian penting hidup orang lain.

Di sinilah dilema moral muncul: apakah penerima kepercayaan wajib memenuhinya meski bertentangan dengan prinsipnya sendiri? Bayangkan seorang sahabat meminta Anda merahasiakan kejahatan serius yang ia lakukan. Memegang rahasia berarti setia pada kepercayaan yang diberikan; membocorkannya berarti mengkhianati. Namun, diam saja bisa menjadikan Anda kaki tangan ketidakadilan. Apakah melanggar kepercayaan demi kebenaran moral adalah pengkhianatan atau keberanian?

Ambiguitas moral ini juga terlihat dalam hubungan intim. Cinta dibangun di atas kepercayaan, tetapi juga bisa menjadi lahan subur manipulasi emosional. Orang yang terlalu percaya pada pasangannya bisa mengabaikan tanda-tanda pelecehan atau kekerasan. Rasa percaya berubah menjadi rasa takut kehilangan, dan rasa takut itu mengikat lebih kuat daripada rantai besi. Banyak orang bertahan dalam hubungan yang merusak bukan karena bodoh, tetapi karena percaya bahwa pasangannya akan berubah, atau bahwa penderitaan adalah bagian dari kesetiaan. Kepercayaan yang awalnya menjadi pondasi justru menjelma penjara batin.

Apakah ini berarti kita harus membuang kepercayaan? Tidak. Tanpa kepercayaan, tak ada kerja sama, masyarakat, atau hubungan bermakna. Dunia tanpa kepercayaan adalah dunia paranoia total. Manusia, sebagai makhluk sosial, memerlukan kepercayaan untuk bertahan hidup. Tantangan filosofisnya adalah bagaimana mempercayai tanpa menjadi korban.

Salah satu jawabannya ialah membedakan kepercayaan yang sadar dari kepercayaan yang buta. Kepercayaan yang sadar lahir dari informasi, pertimbangan rasional, dan kesiapan menerima konsekuensi. Kepercayaan yang buta adalah penyerahan total tanpa verifikasi atau kesiapan mempertanyakan. Dalam banyak tragedi, kepercayaan buta inilah yang dimanfaatkan penipu, penguasa otoriter, atau manipulator emosional.

Filsafat Timur menawarkan perspektif menarik. Konsep wu wei dalam Taoisme mengajarkan untuk mengalir bersama kehidupan, namun tetap sadar akan arusnya. Dalam konteks kepercayaan, artinya adalah mempercayai tanpa melekat obsesif—memberikan ruang bagi keraguan yang sehat. Kepercayaan semacam ini tidak menuntut kepastian mutlak, namun juga tidak menyerahkan kendali sepenuhnya. Ia hidup di antara keyakinan dan kewaspadaan.

Ambiguitas moral kepercayaan mengajarkan bahwa kebaikan tidak selalu murni, dan keburukan tidak selalu jelas. Kepercayaan dapat menjadi penyembuh, namun juga racun halus; dapat menjadi fondasi kemajuan, namun juga penghancur senyap. Seseorang bisa mengkhianati kepercayaan bukan karena jahat, melainkan karena setia pada prinsip lain yang dianggap lebih benar. Sebaliknya, seseorang dapat memegang teguh kepercayaan demi tujuan yang kelak disesali.

Oleh karena itu, kita perlu merombak cara pandang terhadap kepercayaan. Ia bukan kebajikan mutlak, melainkan keterampilan moral yang harus dilatih. Layaknya pelaut yang membaca bintang, kita perlu membaca tanda dalam hubungan, menimbang risiko, dan siap mengubah haluan bila diperlukan. Kepercayaan yang sehat adalah dialog berkelanjutan antara keyakinan dan keraguan.

Barangkali inilah pelajaran terdalamnya: mempercayai bukan berarti menutup mata, melainkan berani menatap potensi pengkhianatan sambil tetap memilih melangkah bersama. Hidup adalah serangkaian pertaruhan, dan kepercayaan adalah salah satu yang paling manusiawi—indah sekaligus berbahaya, luhur sekaligus licik, penuh cinta sekaligus sarat ancaman. Keindahannya justru terletak pada kenyataan bahwa ia tak pernah pasti. Kita hidup di antara janji dan kemungkinan patah hati, antara harapan dan ketakutan, antara keyakinan dan keraguan. Dan di ruang abu-abu itulah kemanusiaan kita diuji.