Ilustrasi (Unsplash.com/Kedungademmu.id)

Kedungademmu.id
Bagi warga Jawa Timur, beberapa pekan terakhir terasa seperti hidup di dalam oven. Pagi hari sudah membuat peluh menetes, sementara siang menjelma jadi ujian kesabaran di tengah aktivitas yang padat.

Ungkapan “panas pol” mendadak ramai di media sosial, menjadi keluhan bersama warga. Tapi, apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Dikutip dari Detik.com, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa kondisi cuaca ekstrem ini bukanlah kejadian misterius. Ada penjelasan ilmiah yang cukup sederhana: fenomena kulminasi utama atau posisi matahari yang sedang tegak lurus di atas wilayah Jawa Timur.

Akibatnya, radiasi matahari yang diterima permukaan bumi meningkat tajam, membuat suhu udara melonjak dan tubuh manusia lebih cepat kehilangan cairan.

Fenomena Kulminasi: Saat Matahari “Menatap” Langsung
Fenomena kulminasi utama terjadi ketika sinar matahari berada tepat di atas kepala—artinya, bayangan benda tegak hampir hilang di tengah hari.

Bagi masyarakat awam, momen ini sering tidak disadari, tetapi efeknya langsung terasa pada suhu udara.

Prakirawan BMKG Stasiun Meteorologi Juanda, Thariq Harun Al Rasyiid, menjelaskan bahwa gerak semu harian matahari berlangsung dari 23,5° lintang utara ke 23,5° lintang selatan.

“Saat ini posisi matahari sedang berada di atas lintang Jawa Timur. Jadi, wajar kalau udara terasa sangat panas,” terangnya.

Kondisi ini diperparah oleh langit Jawa Timur yang pada banyak wilayahnya relatif cerah dalam beberapa pekan terakhir.

Minimnya awan membuat sinar matahari menembus langsung ke permukaan bumi tanpa banyak pantulan atau hambatan. Akibatnya, panas terasa menyengat bahkan sejak pukul delapan pagi.

Bagi banyak orang, cuaca panas dianggap hal biasa, misalnya di wilayah pesisir. Namun kali ini berbeda. Dengan tingkat kelembapan yang rendah dan udara yang lebih kering, sensasi panas menjadi lebih ekstrem.

BMKG menegaskan bahwa kondisi ini bukan “gelombang panas” sebagaimana terjadi di negara subtropis, melainkan perpaduan antara posisi matahari, kondisi atmosfer, dan permukaan tanah yang menyerap panas berlebih.

Situasi ini dapat menimbulkan berbagai dampak: risiko dehidrasi meningkat, aktivitas luar ruangan menjadi berat, dan bahkan potensi kebakaran lahan serta tumpukan sampah yang mudah terbakar.

Bahkan, beberapa sektor seperti transportasi dan perdagangan juga terdampak, karena suhu tinggi dapat menurunkan kenyamanan kerja dan konsumsi energi meningkat akibat penggunaan pendingin ruangan.

Waspada, Bukan Panik
BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan menyesuaikan pola aktivitas. “Cukupi cairan, hindari paparan langsung sinar matahari terlalu lama, serta terus pantau informasi cuaca resmi dari BMKG,” pesan Thariq.

Ia menambahkan, istilah “panas ekstrem” sebaiknya tidak digunakan secara serampangan karena kondisi di Indonesia belum memenuhi kriteria heat wave (gelombang panas) yang ditetapkan secara internasional. Meski begitu, kewaspadaan tetap perlu dijaga agar dampak kesehatan tidak meluas.

Warga diimbau menghindari kegiatan berat pada pukul 10.00 hingga 15.00, waktu di mana intensitas radiasi matahari mencapai puncaknya.

Penggunaan topi, kacamata hitam, dan pakaian longgar berwarna terang disarankan untuk membantu tubuh beradaptasi dengan suhu tinggi.

Kapan Panas Ini Berakhir?
Pertanyaan itu tentu paling sering muncul di benak masyarakat. BMKG memperkirakan bahwa suhu panas di wilayah Jawa Timur akan mulai menurun secara bertahap menjelang akhir Oktober hingga awal November 2025, seiring meningkatnya tutupan awan dan datangnya awal musim hujan.

Ketika kelembapan udara mulai naik, intensitas radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi akan berkurang, sehingga suhu udara berangsur normal.

Namun, di balik semua itu, fenomena ini seolah mengingatkan kita bahwa iklim dan atmosfer bumi terus bergerak dalam keseimbangannya sendiri.

Kota besar seperti Surabaya, dengan beton dan aspal yang luas, menyimpan panas lebih lama daripada kawasan hijau di sekitarnya—menambah efek “pulau panas perkotaan” yang kini makin terasa.

Langit Panas, Kesadaran Iklim Kita Kian Diuji
Panas yang menyelimuti Jawa Timur bukan sekadar urusan suhu udara. Ia juga menyingkap bagaimana manusia hidup berdampingan dengan dinamika alam yang kian sensitif.

Di tengah gempuran pembangunan, minimnya ruang hijau, dan perubahan pola angin global, setiap derajat suhu yang naik seolah menjadi pesan halus dari bumi: bahwa keseimbangan lingkungan tidak bisa diabaikan.

Maka, ketika langit kembali terik dan napas terasa lebih berat, barangkali saat itulah kita perlu berhenti sejenak—bukan hanya untuk berteduh, tetapi juga untuk berpikir: seberapa besar peran kita dalam menjaga kesejukan bumi ini?