(Desain: Ahyar Fauzan)

Oleh: Ahyar Fauzan

Kedungademmu.id Perkembangan teknologi digital di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sungguh pesat. Hampir semua aspek kehidupan kini bersentuhan dengan dunia digital—dari pendidikan, ekonomi, hingga budaya. Namun, di tengah kemajuan ini, kita dihadapkan pada satu pertanyaan penting: Apakah masyarakat kita sudah benar-benar melek digital, atau baru sekadar pengguna teknologi?

Pada 31 Oktober 2025, berbagai kegiatan literasi digital kembali digelar di berbagai daerah. Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), meluncurkan inisiatif Pandu Literasi Digital 2025 yang melibatkan relawan untuk mengedukasi masyarakat tentang keamanan dan etika di dunia maya. Kementerian Pendidikan juga menggencarkan gerakan literasi digital di sekolah-sekolah melalui ajang inovasi dan festival. Perguruan tinggi tidak tinggal diam—mereka turut mengadakan pelatihan, pendampingan UMKM, hingga workshop kehumasan digital.

Semua langkah itu tentu patut diapresiasi. Namun, hasil survei Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) 2025 memberi catatan serius: skor literasi digital justru menurun menjadi 49,28, meskipun indeks masyarakat digital naik. Artinya, penggunaan teknologi memang meningkat, tetapi pemahaman terhadap nilai, etika, dan tanggung jawab di dunia digital belum seimbang.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa literasi digital bukan sekadar kemampuan mengoperasikan gawai atau aplikasi, tetapi juga menyangkut cara berpikir dan bersikap di ruang digital. Literasi digital mencakup kesadaran akan keamanan data pribadi, kemampuan memilah informasi, serta etika dalam berkomunikasi di dunia maya. Tanpa itu semua, teknologi justru bisa menjadi bumerang: menimbulkan hoaks, perundungan daring, bahkan kejahatan siber.

Karena itu, upaya peningkatan literasi digital tidak bisa diserahkan hanya pada pemerintah. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci. Dunia pendidikan perlu menanamkan kesadaran digital sejak dini, bukan hanya lewat pelajaran TIK, tetapi juga melalui praktik nyata—seperti jurnalisme sekolah, proyek kreatif digital, dan literasi media. Dunia usaha harus berperan aktif mendampingi UMKM agar tidak tertinggal dalam transformasi digital. Sementara masyarakat harus mau belajar dan berbagi pengetahuan, terutama di komunitas lokal.

Festival dan acara seperti IdeaFest 2025 atau FEKDI 2025 juga menjadi bukti bahwa literasi digital bukan hal yang kaku dan formal. Ia bisa dikemas secara kreatif, menggabungkan unsur seni, ekonomi, dan budaya. Literasi digital sejatinya adalah gerakan kebudayaan—gerakan untuk membentuk masyarakat yang kritis, kreatif, dan bertanggung jawab di ruang maya.

Namun, ada satu hal yang tak boleh dilupakan: literasi digital harus berakar pada nilai moral dan karakter bangsa. Kita boleh maju dalam teknologi, tetapi tetap harus bijak dalam penggunaannya. Di sinilah pentingnya pendidikan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi fondasi etika digital.

Ke depan, saya percaya bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa yang tidak hanya tanggap digital, tetapi juga tanggap moral dan sosial di dunia digital. Sebab pada akhirnya, teknologi hanyalah alat—manusialah yang menentukan arah dan maknanya.