M. Yazid Mar’i Wakil Ketua Koordinator Majelis Dikdasmen dan PNF PDM Bojonegoro 2022–2027

OlehM. Yazid Mar’i  Wakil Ketua Koordinator Majelis Dikdasmen dan PNF PDM Bojonegoro 2022–2027

Kedungademmu.id— Eksistensi Muhammadiyah dalam perjalanan bangsa Indonesia adalah cerita panjang tentang kontribusi, keteguhan, dan komitmen moral. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah memang bukan organisasi politik. Namun, perjalanan sejarah membuktikan bahwa peran sosial-keagamaan yang diembannya selalu bersinggungan dengan dinamika politik bangsa. Pergumulan ini bukan karena Muhammadiyah ingin terlibat dalam perebutan kekuasaan, melainkan karena komitmennya untuk menjaga cita-cita bangsa: keadilan, kemajuan, dan kesejahteraan.

Dalam lintasan sejarah, Muhammadiyah menjadi rumah besar bagi seluruh anak bangsa, termasuk mereka yang kemudian memilih jalur politik. Sejak masa awal republik hingga era multipartai pasca Reformasi, warga Muhammadiyah diberi ruang luas untuk berkiprah dalam berbagai partai politik. Kebebasan ini bukan tanpa dasar. Ia merupakan pengejawantahan dari Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) yang menegaskan bahwa warga Muhammadiyah wajib berperan serta dalam kehidupan politik secara positif, beretika, dan berlandaskan akhlakul karimah.

PHIWM memberikan lima dasar penting dalam berpolitik yang menegaskan jati diri Muhammadiyah:

Pertama Politik sebagai bagian dari ibadah sosial. Warga Muhammadiyah tidak boleh apatis, tetapi harus terlibat untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Kedua Menegakkan prinsip amanah dan keadilan. Politik tidak boleh dipakai untuk merusak, memfitnah, atau mengkhianati rakyat.

Ketiga Politik untuk kepentingan umat dan bangsa. Kepentingan pribadi dan kelompok tidak boleh mengalahkan kepentingan yang lebih besar.

Keempat Politisi Muhammadiyah wajib menjadi teladan. Kejujuran, kebenaran, dan komitmen moral menjadi syarat utama.

Kelima Menguatkan ukhuwah dan silaturahmi antar kekuatan politik. Muhammadiyah mendorong sikap dewasa, cerdas, dan sejuk dalam dinamika politik.

Landasan ini membuat Muhammadiyah tidak pernah terjebak dalam dukung-mendukung secara politik praktis. Pimpinan dilarang rangkap jabatan di partai politik atau tim sukses agar marwah organisasi tetap terjaga. Sebab, partai politik bersifat sementara, tetapi Muhammadiyah hadir untuk jangka panjang—untuk bangsa, umat, dan masa depan Indonesia.

Sikap inilah yang membuat Muhammadiyah tetap kokoh hingga berusia 113 tahun. Di satu sisi, Muhammadiyah memberi kebebasan kepada warganya untuk berkontribusi di ranah politik. Di sisi lain, keutuhan organisasi tetap terjaga. Muhammadiyah juga dapat tetap kritis dan objektif, karena tidak merasa berutang budi kepada siapa pun.

Dalam setiap fase kehidupan bangsa, Muhammadiyah selalu berada di garda depan. Ia mengingatkan ketika negara melenceng dari cita-cita proklamasi, tetapi juga mendukung ketika negara berjalan dalam rel yang benar. Prinsip “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” menjadi kompas moral yang tidak pernah pudar.

Hari ini, ketika bangsa ini menghadapi tantangan besar—ketidakadilan, kemiskinan, krisis moral, dan polarisasi politik—Muhammadiyah hadir sebagai penyejuk dan pencerah. Melalui ribuan amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan pemberdayaan umat, Muhammadiyah membuktikan bahwa kesejahteraan bangsa tidak hanya dibangun melalui kekuasaan, tetapi melalui kerja nyata, ilmu, dan pengabdian yang tulus.

Selama negara tetap berkomitmen pada cita-cita mulia pendiri bangsa, Muhammadiyah akan menjadi mitra strategis. Namun jika negara menjauh dari amanah itu, Muhammadiyah akan menjadi suara moral yang tegas demi kemaslahatan rakyat.

Muhammadiyah telah dan akan terus mensejahterakan bangsa—dengan kerja, ketulusan, dan komitmen pada pencerahan.