![]() |
| Bendera Muhammadiyah (Muhammadiyah.or.id/Kedungademmu.id) |
Kedungademmu.id—Fenomena masuknya paham Salafisme ke dalam ruang dakwah Muhammadiyah dinilai sebagai persoalan serius yang perlu mendapat perhatian bersama. Bukan semata perbedaan pandangan keagamaan, isu ini dipandang sebagai tantangan ideologis yang dapat memengaruhi arah, karakter, dan identitas dakwah Persyarikatan jika tidak dikelola secara bijak dan tegas.
Pandangan tersebut disampaikan Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Dr. Sholikh Al Huda, M.Fil.I. Menurutnya, kecenderungan Salafisme yang perlahan masuk dan beroperasi di lingkungan Muhammadiyah—terutama melalui mimbar dakwah, pendidikan, dan penguatan wacana keagamaan.
Menurut akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya ini, Salafisme tidak hadir dalam bentuk organisasi formal yang mudah dikenali. Sebaliknya, paham ini bergerak secara lentur dan adaptif, mengikuti ruang-ruang dakwah yang terbuka. Ia menyebut fenomena tersebut sebagai “traveling ideology”, yakni ideologi yang mampu berpindah dan beradaptasi lintas organisasi dengan membawa narasi khasnya sendiri.
Narasi yang dimaksud antara lain ajakan pemurnian ajaran Islam, klaim kembali pada praktik generasi awal (salafus salih), serta penekanan kuat pada pemahaman literal terhadap teks keagamaan. Dalam konteks Muhammadiyah yang sejak awal dikenal rasional, terbuka, dan menjunjung ijtihad, wacana semacam ini kerap dianggap sejalan secara permukaan, meski secara substansial memiliki perbedaan mendasar.
“Persoalan utama bukan terletak pada perbedaan tafsir atau pilihan manhaj keislaman, melainkan pada watak ideologis Salafisme yang cenderung eksklusif,” katanya. Dalam praktiknya, ia melanjutkan, paham ini sering kali menutup ruang dialog, menolak pendekatan kontekstual, dan memandang praktik keagamaan lain sebagai kurang sahih atau menyimpang dari sunnah.
Kondisi tersebut, tegasnya, berpotensi menimbulkan ketegangan internal di tubuh Muhammadiyah. Ketika dakwah mulai dipenuhi oleh klaim kebenaran tunggal dan delegitimasi terhadap praktik keislaman yang telah lama menjadi tradisi Persyarikatan, maka orientasi dakwah Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan dapat tergerus.
Sholikh juga menyinggung dinamika yang sempat mencuat di Gunungkidul sebagai contoh konkret adanya gesekan ideologis di tingkat akar rumput. Peristiwa tersebut dipandang bukan sebagai insiden terpisah, melainkan sebagai sinyal adanya problem yang lebih dalam terkait arah pembinaan dakwah dan ideologi di lingkungan Persyarikatan.
Ia mengingatkan bahwa konflik ideologis yang tidak disadari sejak dini dapat berkembang menjadi perpecahan jamaah. Jika dibiarkan, perbedaan tersebut bukan hanya memengaruhi relasi antarindividu, tetapi juga dapat melemahkan soliditas organisasi dan mengaburkan visi dakwah Muhammadiyah di tengah masyarakat.
Ia sekaligus menegaskan kembali jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Berkemajuan. “Islam Berkemajuan merupakan paradigma keislaman yang tidak berhenti pada teks semata, tetapi mengaitkan ajaran agama dengan akal sehat, realitas sosial, nilai kemanusiaan, serta komitmen kebangsaan,” tandasnya.
Dalam kerangka tersebut, dakwah Muhammadiyah tidak diarahkan untuk membangun eksklusivisme atau menguatkan sekat-sekat internal umat. Sebaliknya, dakwah dimaksudkan sebagai upaya mencerahkan, membebaskan, dan memajukan kehidupan umat Islam serta masyarakat secara luas.
Karena itu, kewaspadaan terhadap infiltrasi ideologi tertentu dipandang sebagai langkah strategis, bukan sikap anti-dialog. Sholikh menekankan bahwa keterbukaan Muhammadiyah terhadap perbedaan tidak boleh dimaknai sebagai kelengahan yang justru membuka ruang bagi ideologi lain untuk menggeser prinsip dan nilai dasar Persyarikatan.
Ia mendorong agar penguatan ideologi Muhammadiyah terus dilakukan secara sistematis, baik melalui kaderisasi, pengembangan dakwah, maupun penguatan literasi ideologis di kalangan mubalig dan pengelola amal usaha. Dengan demikian, Muhammadiyah tetap mampu menjaga identitasnya sebagai gerakan Islam yang moderat, inklusif, dan berorientasi pada kemajuan.

