Pertama Memastikan Makanan Itu Halal dan Baik (Thayyib)
Hal pertama sebelum makan adalah memastikan makanan tersebut halal zat dan cara memperolehnya. Halal bukan hanya dari bahan makanan, tetapi juga cara mendapatkannya harus bebas dari riba, curang, menipu, mencuri, suap, dan sejenisnya.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Alquran Surah Al-Baqarah ayat 168 yang artinya: Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Dari ayat di atas dapat di simpulkan bahwasanya Makan dari harta yang haram bukan hanya menghilangkan berkah, tetapi menjadi sebab tertolaknya doa dan jauhnya hati dari Allah Swt.
Kedua Membersihkan Kedua Tangan Sebelum Makan
Rasulullah Saw bersabda:
"Bersiwaklah dan berwudhulah sebelum makan, karena itu dapat menghilangkan kefakiran." (Riwayat Thabrani – derajat hadis dhaif)
Membasuh tangan adalah sunnah sekaligus tanda kebersihan dan etika. Tangan adalah alat yang dipakai bekerja, menyentuh banyak hal, sehingga sangat mungkin membawa kotoran dan penyakit.
Ketiga Meletakkan Makanan di Atas Lantai (Bukan Meja Tinggi)
Menurut Imam al-Ghazali, sunnah Rasulullah Saw adalah makan di atas lantai, bukan di meja tinggi sebagaimana kebiasaan kaum berlebih (mutakabbir).
Rasulullah Saw bersabda:
"Aku makan sebagaimana seorang hamba makan, dan aku duduk sebagaimana seorang hamba duduk."
Makan di lantai melatih tawadhu’ (rendah hati) dan dekat dengan akhlak Nabi Muhammad Saw.
Namun, al-Ghazali memberi catatan:
Jika ada perubahan zaman, adat, atau kebutuhan selama tidak termasuk kesombongan maka hal itu tidak termasuk bid’ah tercela.
Keempat Tidak Berlebih-lebihan dalam Peralatan Makan
Islam tidak melarang menggunakan alat makan, tetapi melarang berlebihan sampai menjadi simbol pamer, gengsi, dan kemewahan.
Makan sederhana membuka pintu syukur, sedangkan makan dengan kemewahan berlebih dapat membawa hati pada kesombongan.
Kelima uduk dengan Sikap Tawadhu’
Di antara sunnah makan adalah duduk:
Duduk iftirasy, Tidak bersandar, Tidak dalam posisi sombong atau santai berlebihan. Sikap ini menunjukkan adab seorang hamba yang menyadari nikmat Allah Swt.
Keenam Berniat dan Menghadirkan Hati
Niat makan seorang mukmin bukan sekadar kenyang, tetapi agar kuat beribadah, menguatkan badan untuk ketaatan, Menjaga kesehatan sebagai amanah Allah Swt. Niat membedakan seseorang antara yang sekadar makan dan yang makan sebagai ibadah.
Ketujuh Mengingat Bahwa Makanan Adalah Nikmat Allah
Sebelum makan, hati hendaknya hadir dengan rasa syukur, sadar bahwa makanan itu Bukan karena kemampuan diri, Tetapi karena rahmat dan pemberian Allah.
Merenungkan proses panjang rezeki dari tanah, air, petani, pedagang, hingga sampai ke meja—membuat hati tunduk penuh syukur.
Penutup
Jadi dapat di simpulkan bahwasanya Imam al-Ghazali mengajarkan adab makan bukan hanya ritual luar, tetapi pendidikan hati. Seorang Muslim tidak hanya memperhatikan halal-haram makanan, tetapi juga adab batin seperti: Syukur, Tawadhu’, Tidak berlebihan, Niat yang benar. Dengan demikian, makan menjadi ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, bukan sekadar rutinitas duniawi.

