(www.unplash.com)

Kedungademmu.idKitab Ihya’ Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali adalah mahakarya monumental dalam khazanah intelektual Islam. Selama berabad-abad, kitab ini menjadi rujukan para ulama, pendidik, dan penempuh jalan ruhani. Bukan hanya karena kedalaman ilmu yang dikandungnya, tetapi juga karena kemampuannya memadukan dimensi fikih, tasawuf, dan etika kehidupan secara harmonis.

Salah satu pembahasan penting di dalamnya adalah keutamaan bekerja, larangan meminta-minta, serta pentingnya menjaga harga diri dengan usaha yang halal. Bagian ini memiliki relevansi mendalam bagi kehidupan manusia modern, terutama di masa ketika dunia kerja penuh tantangan dan persaingan.

Usaha sebagai Jalan Kemuliaan

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah, karena melalui usaha seseorang dapat menafkahi dirinya, keluarga, dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Allah Swt menggambarkan bumi sebagai tempat manusia “bertebaran mencari karunia-Nya”, sebagaimana firman-Nya:

"Fantasyrū fī al-arḍi wa btaghū min faḍlillāh"
Berjalanlah kalian di muka bumi dan carilah sebagian dari karunia Allah Swt. (Al-Quran Surah Al-Jumuah Ayat 10)

Ayat ini menegaskan bahwa Islam bukan agama yang memerintahkan umatnya untuk berpangku tangan atau hidup dalam kemalasan. Justru sebaliknya, kerja keras merupakan bagian dari ketakwaan.

Peringatan Keras Larangan Mengemis

Imam Al-Ghazali menulis banyak hadis yang mengkritik keras perbuatan meminta-minta padahal seseorang masih mampu bekerja. Di antaranya:

Rasulullah Saw bersabda, “Seseorang yang terus meminta-minta akan datang pada hari kiamat tanpa sepotong daging pun di wajahnya.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Sungguh, seseorang di antara kalian yang membawa seikat kayu bakar lalu menjualnya lebih baik baginya daripada meminta kepada manusia.”

Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa mengemis tanpa kebutuhan darurat melemahkan martabat, merusak jiwa, dan mematikan semangat kerja.

Nilai Kehormatan dalam Bekerja

Dalam narasi yang dikumpulkan Al-Ghazali, terdapat kisah para sahabat yang sangat menjaga kehormatan diri mereka. Salah satu contohnya adalah Umar bin Khattab ra. Ia berkata:

Tidak ada seorang pun di antara kalian yang duduk-duduk tanpa kerja, lalu berkata: ‘Ya Allah, berilah aku rezeki!’ Padahal ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.”

Pesan Umar sangat jelas: Doa harus ditemani usaha. Tawakal bukan pasrah, tetapi ikhtiar yang tulus untuk mencapai yang halal.

Menyibukkan Diri dengan Kemandirian

Imam Al-Ghazali menampilkan pandangan bijak para ulama salaf: Sibuk bekerja lebih utama dibanding sibuk meminta-minta atau berharap dari pemberian manusia.

Seorang bijak berkata:

 “Carilah pekerjaan, sebab pekerjaan menjaga harga diri, menjauhkan dari kehinaan, dan memperkuat jiwa.”

Kemandirian adalah inti dari kemuliaan, dan bekerja betapapun sederhana bentuknya lebih terpuji daripada bergantung pada manusia.

Hikmah Praktis dari Imam Al-Ghazali

Dari seluruh uraian di atas terdapat beberapa pelajaran utama:

Pertama Rezeki tidak datang tanpa usaha

Allah Swt membuka pintu rezeki bagi hamba yang berikhtiar, bukan bagi mereka yang malas.

Kedua Tawakal harus disertai kerja yang nyata

Siapa yang hanya menunggu tanpa usaha sesungguhnya tidak bertawakal, tetapi berangan-angan.

Ketiga menjaga harga diri adalah bagian dari iman

Bekerja memberikan kemandirian, menghindarkan diri dari kehinaan meminta-minta.

Keempat bekerja adalah ibadah jika diniatkan karena Allah Swt

Menafkahi keluarga, menjaga diri dari yang haram, dan memberi manfaat kepada orang lain adalah amal saleh.

Pesan Abadi dari Imam Al-Ghazali

Pembahasan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin tidak hanya ditujukan untuk ulama atau ahli ibadah, tetapi untuk seluruh umat manusia. Ia mengingatkan bahwa:

Kehormatan seseorang terletak pada kerjanya.

Usaha adalah bagian dari jalan menuju Allah.

Rezeki yang halal hanya datang melalui ikhtiar.

Dalam dunia modern yang serba cepat, pesan ini menjadi semakin relevan. Bekerja keras, menjaga etika, menjauhi meminta-minta, dan tetap bersandar kepada Allah adalah kunci keseimbangan hidup dunia dan akhirat.