(www.unplash.com)

Oleh: Aurelya Diva Kusuma Astuti, Desvita Waffa Ananda Putri Dan Mutiara Puspa Dewanny

Kedungademmu.id
— Bullying kerap hadir dengan wajah yang menipu. Ia tidak selalu muncul dalam bentuk kekerasan fisik yang mudah dikenali, melainkan sering menjelma sebagai ejekan, olok-olok, pengucilan, atau komentar yang dianggap sekadar candaan. Ungkapan seperti “hanya bercanda” atau “namanya juga anak-anak” acap kali digunakan untuk meredam kegelisahan, seolah luka yang ditimbulkan tidak layak dipersoalkan.

Padahal, bagi anak yang menjadi korban, candaan yang terjadi secara berulang dapat berubah menjadi tekanan psikologis yang perlahan menggerus rasa aman dan kepercayaan diri. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga Oktober 2025 terdapat 61 anak yang menjadi korban bullying. Angka tersebut mungkin tampak kecil jika dibandingkan dengan jumlah populasi anak di Indonesia, namun setiap kasus menyimpan kisah penderitaan yang sering kali tidak terdengar.

Salah satu peristiwa yang mengguncang perhatian publik terjadi di Wonosobo, Jawa Tengah. Seorang siswa kelas III sekolah dasar meninggal dunia pada Oktober lalu. Korban diduga mengalami pengeroyokan, namun memilih diam dan tidak menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada siapa pun hingga kondisinya memburuk. Ia baru mendapatkan perawatan medis sekitar lima hari setelah kejadian tersebut.

Ironisnya, pihak keluarga mengaku tidak memperoleh penjelasan langsung dari sekolah terkait peristiwa yang menimpa anak mereka. Bahkan, orang tua korban menyatakan tidak pernah menerima sosialisasi mengenai pencegahan maupun penanganan bullying di lingkungan sekolah. Situasi ini menunjukkan bahwa persoalan perundungan tidak hanya berkaitan dengan pelaku dan korban, tetapi juga menyangkut sistem pengawasan, komunikasi, serta budaya respons di satuan pendidikan.

Dampak bullying terhadap perkembangan psikologis anak tidak dapat dianggap remeh. Anak yang mengalami perundungan berisiko menghadapi kecemasan berlebih, depresi, gangguan tidur, penurunan konsentrasi belajar, hingga kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial. Dalam jangka panjang, pengalaman tersebut dapat membentuk persepsi negatif terhadap diri sendiri dan dunia sekitarnya.

Anak tumbuh dengan rasa takut, merasa tidak berharga, serta kehilangan keberanian untuk bersuara. Apabila kondisi ini dibiarkan tanpa pendampingan yang memadai, dampaknya dapat berujung fatal. Lebih memprihatinkan lagi, sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman justru kerap menjadi tempat terjadinya perundungan.

Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan yang terstruktur dan berkelanjutan. Edukasi tentang bullying harus diberikan secara menyeluruh, tidak hanya kepada peserta didik, tetapi juga kepada guru dan tenaga kependidikan. Penanaman nilai empati, sikap saling menghargai perbedaan, serta kemampuan menyelesaikan konflik secara sehat perlu menjadi bagian dari proses pendidikan sejak usia dini.

Sekolah juga perlu memiliki aturan yang jelas dan tegas terkait bullying, termasuk mekanisme pelaporan yang aman serta berpihak pada korban. Guru memegang peran strategis dalam mengawasi interaksi antarsiswa, mengenali tanda-tanda perundungan, serta memberikan konsekuensi yang tegas namun tetap bersifat mendidik. Ketegasan ini penting agar anak memahami bahwa setiap tindakan memiliki tanggung jawab dan dampak.

Peran orang tua tidak kalah penting. Anak perlu dibiasakan untuk terbuka dan berani bercerita mengenai pengalaman yang mereka alami tanpa rasa takut disalahkan atau diremehkan. Selain itu, orang tua perlu membekali anak dengan kemampuan menolak ajakan negatif serta menanamkan empati dalam berinteraksi dengan teman sebaya.

Di era digital, pengawasan terhadap penggunaan media sosial menjadi semakin krusial. Bullying tidak lagi terbatas pada ruang kelas, tetapi juga merambah dunia maya yang kerap lebih kejam dan sulit terpantau. Oleh sebab itu, literasi digital dan pendampingan yang konsisten menjadi kebutuhan yang tidak dapat diabaikan.

Menciptakan lingkungan yang aman bagi anak membutuhkan keterlibatan semua pihak. Kolaborasi antara orang tua, sekolah, pendidik, dan masyarakat menjadi kunci untuk memutus rantai bullying. Ketika kepedulian dan komunikasi berjalan seiring, anak-anak tidak lagi dipaksa menanggung luka dalam diam. Sebab, canda yang dibiarkan tanpa empati dapat meninggalkan luka yang menetap, sementara perlindungan yang nyata mampu menyelamatkan masa depan seorang anak.