Namun, menurut Faizal Keliobas, Founder Pemuda Berdaya, pertumbuhan ekonomi tidak cukup dibaca sebatas capaian statistik. Ia menegaskan bahwa pembangunan sejatinya harus diuji secara lebih substantif, yakni sejauh mana pertumbuhan tersebut benar-benar berpihak pada manusia sebagai subjek utama pembangunan.
Pandangan tersebut berangkat dari tradisi pemikiran Muhammadiyah yang sejak awal menempatkan pembangunan dalam kerangka keadilan sosial dan kemaslahatan. Kemajuan, menurut perspektif ini, tidak hanya diukur dari besarnya angka ekonomi, tetapi dari kemampuannya memuliakan martabat manusia serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Lensa inilah yang digunakan Faizal dalam membaca dinamika dan paradoks pembangunan Maluku Utara saat ini.
Faizal menilai, lonjakan pertumbuhan ekonomi Maluku Utara sebagian besar ditopang oleh sektor padat modal dan bersifat ekstraktif. Industri pertambangan dan penggalian mencatat pertumbuhan sangat tinggi, demikian pula kinerja ekspor barang dan jasa. Secara makro, struktur ekonomi daerah tampak bergerak menuju basis produksi dan ekspor. Namun, dalam perspektif ilmu sosial dan kebijakan publik, model pertumbuhan semacam ini menyimpan kelemahan mendasar karena nilai ekonomi yang besar tidak selalu terdistribusi secara adil kepada tenaga kerja lokal.
Paradoks tersebut, lanjut Faizal, terlihat jelas pada pergerakan Upah Minimum Provinsi (UMP) Maluku Utara. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang melesat, kenaikan upah pekerja justru bergerak relatif lambat. Selisih kenaikan yang kecil menunjukkan adanya jarak antara akumulasi nilai ekonomi dan peningkatan kesejahteraan buruh. Dalam perspektif keadilan sosial, kondisi ini bukan sekadar persoalan teknis formula penetapan upah, melainkan cerminan ketimpangan struktural dalam arah pembangunan daerah.
Dalam pandangan Muhammadiyah, kerja merupakan bagian dari martabat manusia. Oleh karena itu, upah yang layak bukan semata-mata instrumen ekonomi, melainkan bentuk pengakuan atas nilai kerja itu sendiri. Ketika para pekerja yang menopang sektor-sektor strategis masih hidup di batas kelayakan, maka pembangunan dinilai telah kehilangan dimensi etiknya. Pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan kesejahteraan pekerja berpotensi melahirkan ketimpangan sosial dan melemahkan kohesi masyarakat.
Pendekatan akademik dalam kajian kebijakan publik turut menguatkan pandangan tersebut. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya alam cenderung menghasilkan pertumbuhan tinggi, namun rapuh jika tidak disertai kebijakan distribusi yang adil. Upah yang stagnan dapat melemahkan daya beli masyarakat, menekan konsumsi lokal, dan dalam jangka panjang justru menghambat keberlanjutan ekonomi daerah.
Faizal Keliobas menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Maluku Utara seharusnya dijadikan sebagai alat koreksi kebijakan. Pemerintah daerah, menurutnya, tidak cukup hanya berpegang pada formula nasional penetapan upah apabila realitas ekonomi lokal menunjukkan kapasitas fiskal dan ekonomi yang jauh lebih besar. Diperlukan keberanian politik untuk menempatkan kesejahteraan pekerja sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan, bukan sekadar pelengkap narasi investasi.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan yang berpihak pada pekerja tidak identik dengan sikap anti-investasi. Sebaliknya, kesejahteraan tenaga kerja merupakan fondasi penting bagi pembangunan berkelanjutan. Pekerja dengan upah layak akan memiliki daya beli yang lebih kuat, produktivitas yang lebih tinggi, serta kontribusi sosial yang lebih stabil. Dalam konteks ini, keadilan sosial justru menjadi prasyarat bagi terciptanya iklim investasi jangka panjang yang sehat.
Maluku Utara, menurut Faizal, memiliki peluang besar untuk keluar dari jebakan pembangunan yang timpang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya membuka ruang fiskal dan politik untuk memperkuat perlindungan pekerja, meningkatkan kualitas lapangan kerja, serta mendorong distribusi hasil pembangunan yang lebih adil. Tanpa langkah korektif tersebut, pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan hanya berhenti sebagai capaian di atas kertas.
“Kemajuan sejati adalah kemajuan yang menghadirkan keadilan dan memuliakan manusia,” ujar Faizal. Ia menegaskan bahwa pembangunan yang berpihak pada manusia bukan sekadar pilihan moral, melainkan kebutuhan kebijakan. Jika pertumbuhan ekonomi tidak benar-benar dirasakan dalam kehidupan sehari-hari para pekerja, maka yang tersisa hanyalah statistik yang rapi, tetapi kehilangan makna sosialnya.
Faizal Keliobas merupakan Founder Pemuda Berdaya, kader Muhammadiyah, serta lulusan terbaik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta.

