(www.unplash.com)

Kedungademmu.idDalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Abu Hamid Al-Ghazali menempatkan pembahasan tentang hak tetangga sebagai bagian penting dari akhlak sosial seorang Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa kesempurnaan iman tidak hanya tercermin dalam hubungan seorang hamba dengan Allah Swt., tetapi juga dalam sikap dan perilakunya terhadap orang-orang terdekat di sekitarnya, khususnya tetangga.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa tetangga memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Bahkan, Rasulullah saw. berulang kali mendapatkan wasiat dari Malaikat Jibril agar berbuat baik kepada tetangga, hingga beliau mengira tetangga akan diberi hak waris. Hal ini menegaskan bahwa memuliakan tetangga bukan sekadar anjuran, melainkan kewajiban moral yang sangat ditekankan.

Hak tetangga dalam Ihya’ Ulumuddin mencakup banyak aspek, di antaranya:

Tidak menyakiti tetangga, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Menyakiti tetangga, meskipun terlihat sepele, dapat menjadi sebab hilangnya keberkahan hidup. Seorang Muslim dituntut untuk menjaga lisannya, sikapnya, serta perbuatannya agar tidak menimbulkan gangguan, keresahan, atau penderitaan bagi tetangganya.

Sikap peduli dan empati terhadap tetangga. Membantu ketika tetangga mengalami kesulitan, menjenguk saat sakit, berbagi makanan, serta menunjukkan wajah yang ramah merupakan bentuk nyata dari akhlak mulia. Bahkan, menahan diri dari perbuatan yang dapat melukai perasaan tetangga juga termasuk bagian dari berbuat baik kepada mereka.

Menjagan kehormatan dan keharmonisan
Dalam konteks kehidupan modern yang cenderung individualistis, ajaran tentang hak tetangga dalam Ihya’ Ulumuddin menjadi sangat relevan. Islam mengajarkan bahwa ketenangan dan keharmonisan masyarakat berawal dari hubungan yang baik antarindividu di lingkungan terdekat. Tetangga yang dihormati dan dimuliakan akan melahirkan lingkungan yang aman, damai, dan penuh kasih sayang.

Dengan demikian, memuliakan tetangga merupakan cerminan dari iman yang hidup dan akhlak yang luhur. Melalui pengamalan ajaran Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, umat Islam diharapkan mampu membangun peradaban yang tidak hanya kuat secara spiritual, tetapi juga harmonis secara sosial.