Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa pada dasarnya suara yang indah dan nyanyian bukanlah sesuatu yang tercela. Hukumnya sangat bergantung pada niat, isi, dan dampaknya terhadap hati pendengar. Jika lantunan suara tersebut mengingatkan kepada kebesaran Allah Swt., membangkitkan rasa rindu kepada akhirat, serta mendorong ketaatan, maka ia dapat menjadi sarana mendekatkan diri kepada-Nya.
Namun, apabila apa yang didengar justru menumbuhkan hawa nafsu, melalaikan dari ibadah, atau mendorong perbuatan tercela, maka pendengaran tersebut menjadi sumber kerusakan hati. Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali mengingatkan agar seorang Muslim tidak sembarangan dalam mendengar, karena hati sangat mudah terpengaruh oleh suara dan irama.
Lebih jauh, dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menekankan pentingnya adab ketika mendengar. Seorang Muslim dianjurkan untuk menjaga ketenangan, menghindari gerakan berlebihan, serta tidak larut dalam ekspresi yang melampaui batas kesopanan. Mendengar dengan sikap tawaduk dan penuh kesadaran akan menjaga kemurnian niat serta menghindarkan diri dari perilaku yang tidak terpuji.
Dalam kehidupan modern yang sarat dengan hiburan dan informasi, ajaran ini menjadi sangat relevan. Selektif dalam memilih apa yang didengar merupakan bentuk penjagaan iman dan latihan spiritual. Tidak semua yang merdu baik bagi hati, dan tidak semua hiburan membawa ketenangan jiwa.
Dengan demikian, adab mendengar dan bernyanyi dalam Ihya’ Ulumuddin mengajarkan bahwa keindahan suara hendaknya menjadi jalan untuk memperhalus rasa, membersihkan hati, dan mendekatkan diri kepada Allah Swt., bukan sebaliknya.

