(www.unplash.com)

Kedungademmu.id— Amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu prinsip agung dalam ajaran Islam. Ia bukan sekadar kewajiban sosial-keagamaan, melainkan juga cerminan kehalusan akhlak dan kedewasaan spiritual seorang muslim. Namun, dalam praktiknya, tugas mulia ini sering kali tergelincir menjadi sikap menghakimi, mencela, bahkan merendahkan orang lain. Padahal, Islam mengajarkan bahwa menegakkan kebenaran harus dibarengi dengan adab yang luhur.

Dalam khazanah keilmuan Islam, dikenal istilah muḥtasib, yakni orang yang bertugas menegakkan amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Seorang muḥtasib tidak cukup hanya berbekal pengetahuan tentang halal dan haram, tetapi juga dituntut memiliki kebijaksanaan, kesabaran, serta keikhlasan. Tanpa adab, nasihat yang benar sekalipun dapat berubah menjadi sumber perpecahan.
Salah satu adab utama dalam menasihati adalah menjauhi sikap mencela dan membuka aib. Islam melarang keras tindakan mencari-cari kesalahan orang lain, apalagi menyebarkannya di hadapan umum.

Rasulullah Saw mengingatkan bahwa siapa pun yang menutup aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Prinsip ini menegaskan bahwa tujuan nasihat bukanlah mempermalukan, melainkan memperbaiki.

Selain itu, niat yang tulus menjadi fondasi utama dalam amar ma’ruf nahi munkar. Nasihat yang lahir dari amarah, dendam, atau keinginan untuk merasa lebih suci justru akan kehilangan keberkahannya. Sebaliknya, nasihat yang disampaikan dengan kasih sayang, kelembutan, dan keteladanan akan lebih mudah diterima oleh hati yang dinasihati.

Para ulama salaf telah mencontohkan sikap luar biasa dalam hal ini. Mereka lebih memilih menasihati secara sembunyi-sembunyi daripada menegur di hadapan banyak orang. Bagi mereka, menasihati di depan umum tanpa kebutuhan mendesak sama halnya dengan membuka pintu kehinaan. Sikap ini menunjukkan bahwa menjaga kehormatan sesama muslim merupakan bagian tak terpisahkan dari dakwah itu sendiri.

Amar ma’ruf nahi munkar juga menuntut kecermatan dalam memahami situasi dan kondisi. Tidak semua kemungkaran dapat dicegah dengan cara yang sama. Ada kalanya cukup dengan nasihat lisan, ada pula yang memerlukan keteladanan perbuatan. Bahkan, dalam kondisi tertentu, menahan diri demi menghindari mudarat yang lebih besar justru menjadi pilihan yang lebih bijak.

Menegakkan amar ma’ruf bukan hanya tentang menyampaikan kebenaran, tetapi juga tentang bagaimana kebenaran itu disampaikan. Akhlak yang mulia adalah jembatan yang menghubungkan pesan kebenaran dengan hati manusia. Tanpa akhlak, amar ma’ruf kehilangan ruhnya; sebaliknya, dengan adab dan kebijaksanaan, nasihat akan menjadi cahaya yang menuntun, bukan api yang membakar.