(www.unplash.com)

Kedungademmu.idKarya monumental Ihya’ ‘Ulumuddin merupakan salah satu rujukan penting dalam khazanah keilmuan Islam. Melalui tulisan-tulisannya, Imam al-Ghazali mengajak pembaca untuk menapaki jalan penyucian hati, memperbaiki perilaku, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang benar dan menyeluruh. Kitab ini bukan sekadar bacaan, tetapi juga cermin untuk melihat diri, menilai amal, serta menimbang kembali arah hidup.

Dalam pengantar pembahasannya, al-Ghazali menekankan bahwa manusia sering tertipu oleh dunia. Harta, jabatan, dan pujian kerap menjadi tirai yang menutup pandangan hati dari nilai-nilai kebenaran. Padahal sejatinya, tujuan hidup bukanlah kemegahan duniawi, melainkan kedekatan spiritual kepada Sang Pencipta. Dunia hanya kendaraan; sedangkan akhirat adalah tujuan.

Salah satu inti ajaran dalam Ihya’ adalah pentingnya menjaga hati. Hati digambarkan sebagai raja, sedangkan anggota tubuh lainnya merupakan tentara yang patuh. Jika hati baik, seluruh perilaku menjadi baik. Sebaliknya, jika hati rusak, seluruh tindakan pun ternodai. Oleh sebab itu, memperbaiki hati menjadi kewajiban utama sebelum memperbaiki hal-hal lahiriah lainnya.

Al-Ghazali juga membahas berbagai penyakit hati seperti riya, sombong, ujub, dan cinta dunia yang berlebihan. Penyakit-penyakit ini sering kali tidak disadari, tetapi mampu merusak amal seseorang dari dalam. Dalam perspektif beliau, tugas seorang hamba bukan hanya melakukan amal saleh, tetapi juga memastikan amal tersebut terbebas dari noda penyakit hati.

Selain memperbaiki diri, Ihya’ turut menekankan pentingnya ilmu. Bagi al-Ghazali, ilmu adalah cahaya yang menerangi langkah manusia. Tanpa ilmu, ibadah kehilangan arah, sementara hati mudah terseret hawa nafsu. Namun beliau juga mengingatkan bahwa ilmu harus diamalkan, karena ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.

Nilai penting lainnya dari karya ini adalah penekanan pada keseimbangan antara aspek lahiriah dan batiniah. Ibadah seperti salat, puasa, dan zakat tidak hanya memiliki aturan teknis, tetapi juga memiliki dimensi ruhani yang mendalam. Ketika dua aspek ini dipadukan, ibadah menjadi sempurna dan mampu membentuk karakter mulia.

Melalui Ihya’ ‘Ulumuddin, al-Ghazali menghadirkan pesan universal: bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada gemerlap dunia, tetapi pada ketenangan hati yang dekat dengan Allah. Pesan ini tetap relevan hingga hari ini, ketika manusia semakin tenggelam dalam kesibukan dan kompetisi duniawi.

Dengan membaca dan mengambil hikmah dari karya ini, kita diajak untuk kembali menata hidup, memperkuat ibadah, memperbaiki akhlak, serta menajamkan kesadaran bahwa setiap langkah memiliki konsekuensi ukhrawi. Ihya’ ‘Ulumuddin bukan sekadar kitab, tetapi ajakan untuk hidup lebih bermakna.