![]() |
| Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir pada perayaan Milad ke-113 Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Lamongan (20/12/2025) (Muhammadiyah.or.id/Kedungademmu.id) |
Kedungademmu.id—Aksi penanggulangan bencana yang dilakukan Persyarikatan Muhammadiyah bukanlah respons situasional atau gerakan baru yang muncul belakangan ini. Sejak lebih dari satu abad lalu, Muhammadiyah telah menjadikan kerja-kerja kemanusiaan sebagai bagian dari napas gerakan, bahkan jauh sebelum konsep penanggulangan bencana dikenal secara sistematis di Indonesia.
Jejak sejarah mencatat, keterlibatan Muhammadiyah dalam membantu korban bencana bermula pada peristiwa letusan Gunung Kelud di Kediri pada tahun 1919. Saat itu, sekelompok pemuda Muhammadiyah yang dikenal sebagai Lasykar Kiai Soedja’ bergerak menggalang bantuan melalui Bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO).
Mereka menyusuri rumah-rumah warga, menghimpun donasi, serta menyalurkan bantuan kepada masyarakat terdampak erupsi. Gerakan tersebut menjadi rintisan awal tradisi penanggulangan bencana di tubuh Muhammadiyah, yang terus berlanjut dan berkembang hingga hari ini.
Sejarah panjang tersebut ditegaskan kembali oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, dalam acara perayaan Milad ke-113 Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Lamongan (UMLA).
Dalam sambutannya, Haedar menekankan bahwa keterlibatan Muhammadiyah dalam penanggulangan bencana berakar kuat pada pengalaman historis organisasi. Ia menyatakan, “Ketika Gunung Kelud meletus saat itu—tahun 1919, yang pancaran letusannya itu sampai ke Eropa, di situlah memulai kita gerak penanggulangan bencana dan itulah rintisan Muhammadiyah,” ungkap Haedar pada Sabtu (20/12/2025).
Lebih lanjut, Haedar mengajak seluruh warga Muhammadiyah untuk terus merawat semangat kepeloporan tersebut dengan memperkuat kepedulian sosial, termasuk menyisihkan sebagian rezeki untuk membantu saudara-saudara yang terdampak bencana di berbagai daerah, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Menurutnya, kerja-kerja kemanusiaan bukan sekadar aksi karitatif, melainkan perwujudan nilai keislaman yang berpihak pada kaum mustadh’afin.
Dalam perkembangannya, komitmen tersebut dilembagakan secara lebih sistematis melalui pembentukan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Lembaga ini menjadi pusat koordinasi penanggulangan bencana Muhammadiyah, yang mencakup upaya mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
MDMC bekerja dengan melibatkan jaringan persyarikatan di tingkat pusat, wilayah, dan daerah, serta bersinergi dengan lembaga filantropi Muhammadiyah seperti Lazismu.
Kiprah MDMC juga menunjukkan tingkat profesionalisme yang semakin kuat. Salah satu unitnya, Emergency Medical Team (EMT) Muhammadiyah, telah mendapatkan pengakuan dari World Health Organization (WHO) sebagai tim medis darurat yang memenuhi standar internasional.
Pengakuan ini menegaskan bahwa peran Muhammadiyah dalam penanggulangan bencana tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga memiliki kapasitas untuk terlibat dalam misi kemanusiaan global.
Dalam respons kebencanaan terbaru, Muhammadiyah kembali hadir di tengah masyarakat yang terdampak bencana banjir dan longsor di sejumlah wilayah Sumatera. Melalui koordinasi MDMC, Lazismu, dan jaringan relawan, Muhammadiyah menyalurkan bantuan logistik, layanan kesehatan, dukungan psikososial, dapur umum, penyediaan air bersih, hingga hunian darurat bagi warga terdampak.
Langkah ini menunjukkan konsistensi Muhammadiyah dalam memastikan bahwa kehadirannya tidak berhenti pada fase darurat, tetapi juga berlanjut pada upaya pemulihan.
Selain respons langsung, Muhammadiyah juga menaruh perhatian besar pada penguatan mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Edukasi kebencanaan, pelatihan relawan, serta peningkatan kesadaran masyarakat di lingkungan sekolah, kampus, dan komunitas menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk membangun ketangguhan masyarakat menghadapi risiko bencana.
Jejak lebih dari satu abad ini menegaskan bahwa penanggulangan bencana bagi Muhammadiyah bukan sekadar program insidental, melainkan tradisi kemanusiaan yang berakar kuat pada nilai, sejarah, dan struktur organisasi.
Dari letusan Gunung Kelud 1919 hingga tantangan bencana di era modern, Muhammadiyah terus menjaga konsistensi peran sosialnya sebagai gerakan Islam yang hadir untuk menolong, melayani, dan memulihkan kehidupan masyarakat.

