Oleh: Muhammad Arief Wicaksono,
Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Universitas Pamulang
Peristiwa ini bukan sekadar persoalan individual, melainkan cerminan masalah struktural dalam sistem pendidikan dan penegakan hukum di Indonesia. Ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya empati dan kepercayaan, kini berubah menjadi ruang penuh kecurigaan.
Akar persoalan semacam ini berangkat dari krisis kepercayaan antara masyarakat, institusi pendidikan, dan profesi guru. Rentetan kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah membuat publik berada dalam posisi kewaspadaan tinggi. Kewaspadaan ini pada dasarnya wajar dan perlu. Namun, ia menjadi bermasalah ketika setiap interaksi antara guru dan murid langsung dipersepsikan sebagai potensi pelanggaran.
Dalam konteks Pak Mansur, tindakan memeriksa kondisi siswa yang sakit yang seharusnya masuk dalam ranah pertolongan darurat berubah makna menjadi dugaan pelecehan. Hal ini terjadi karena tidak adanya kerangka pemahaman yang sama antara guru, orang tua, dan aparat penegak hukum mengenai batasan tindakan profesional di ruang pendidikan.
Persoalan ini diperparah oleh ketiadaan standar operasional prosedur yang jelas dan seragam di sekolah terkait penanganan kondisi kesehatan siswa. Banyak institusi pendidikan tidak memiliki pedoman tertulis tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan guru dalam situasi darurat. Akibatnya, guru sering kali bertindak berdasarkan naluri kemanusiaan dan pengalaman pribadi.
Ketika keputusan tersebut kemudian dinilai dengan kacamata hukum pidana tanpa mempertimbangkan konteks pendidikan, guru berada pada posisi yang sangat rentan. Di sinilah paradoks besar itu muncul. Negara menuntut guru berperan aktif menjaga keselamatan siswa, tetapi tidak menyediakan perlindungan hukum yang memadai ketika peran itu dijalankan. Guru diminta peduli, tetapi dihukum ketika kepedulian dianggap melampaui batas.
Paradoks ini secara perlahan melahirkan budaya takut di kalangan pendidik. Alih-alih sigap menolong, guru memilih bersikap pasif demi menghindari risiko hukum. Ketakutan ini berdampak luas. Relasi pedagogis yang seharusnya hangat dan suportif berubah menjadi relasi administratif yang kaku dan berjarak.
Dalam jangka panjang, situasi ini mengancam kualitas pendidikan itu sendiri. Pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan juga ruang pembentukan karakter melalui empati, perhatian, dan keterlibatan emosional yang sehat. Ketika unsur-unsur tersebut tereduksi, sekolah berpotensi kehilangan fungsi sosialnya sebagai tempat yang aman dan manusiawi bagi anak.
Peran media dan ruang digital pun patut dikritisi. Banyak pemberitaan cenderung mengedepankan sensasi dan mengabaikan prinsip praduga tak bersalah. Guru yang dilaporkan segera dilabeli sebagai pelaku, sementara proses klarifikasi berjalan lambat dan nyaris tak terdengar. Opini publik terbentuk lebih cepat daripada fakta, dan stigma terlanjur melekat bahkan sebelum pengadilan berbicara.
Namun demikian, kritik terhadap kriminalisasi guru tidak boleh dimaknai sebagai upaya menafikan pentingnya perlindungan anak. Keduanya tidak seharusnya dipertentangkan. Justru, perlindungan anak akan lebih efektif jika dibangun di atas sistem yang adil dan proporsional bagi pendidik.
Setiap laporan dugaan pelecehan memang harus ditangani secara serius. Namun, penanganannya perlu dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan ahli pendidikan, psikolog, dan tenaga kesehatan—bukan semata-mata pendekatan hukum yang kaku dan reaktif.
Kasus Pak Mansur semestinya menjadi momentum evaluasi kebijakan. Pemerintah dan institusi pendidikan perlu segera menyusun serta mensosialisasikan pedoman etik dan prosedur operasional yang jelas terkait interaksi guru dan siswa, terutama dalam situasi darurat kesehatan. Selain itu, mekanisme pendampingan hukum bagi guru harus diperkuat agar pendidik tidak menjadi korban sistem yang gagal melindungi pelaku pendidikan.
Pada akhirnya, pendidikan yang sehat hanya dapat tumbuh dalam ekosistem yang adil dan saling percaya. Jika guru terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan, yang terancam bukan hanya profesi mereka, tetapi juga masa depan generasi yang mereka didik. Ketika niat baik selalu dicurigai, empati pun perlahan mati. Dan ketika empati hilang dari ruang kelas, pendidikan kehilangan ruhnya yang paling mendasar.

